7 Fakta Djoko Pekik: Pernah Dipenjara hingga Lukisannya Miliaran Rupiah

7 Fakta Djoko Pekik: Pernah Dipenjara hingga Lukisannya Miliaran Rupiah

Tia Agnes Astuti - detikHot
Minggu, 13 Agu 2023 07:01 WIB
Penyerahan lukisan Berburu Celeng Merapi ke Museum Anak Bajang, Pakem, Sleman.
Djoko Pekik (Foto: Jauh Hari Wawan S/ detikcom)
Jakarta -

Djoko Pekik berpulang di usia 86 tahun hari ini. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi dunia seni Indonesia.

Banyak yang tahu kiprahnya sebagai seniman tak terlepas dari aktivitasnya dalam Lekra. Dia pun pernah dibui tanpa diadili oleh rezim penguasa Orde Baru.

Mari mengena lagi 7 fakta Djoko Pekik, yang harga lukisannya miliaran rupiah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Dibui Tanpa Proses Pengadilan

Djoko Pekik bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ditangkap aparat kepolisian pada 8 November 1965. Penangkapan itu dipicu oleh peristiwa pemberontakan G30S yang membuat Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya ditangkap.

Di masa itu, Djoko Pekik pun sempat berada di dalam bui selama 7 tahun lamanya. Saat itu, dia berada di Jakarta dan langsung bersembunyi ketika kepolisian memburu anggota PKI dan Lekra.

ADVERTISEMENT

Djoko Pekik sempat dituduh sebagai oknum pembunuhan para jenderal di masa itu. "Saya dikatakan pelarian dari Jakarta dan dituduh sebagai pembunuhan para jenderal," lanjutnya.

"Saya ingat betul bagaimana rasanya gelap di penjara, kedinginan, kelaparan, disuruh jalan jongkok dengan kepala diinjak, punggung bengkak, badan semua berdarah. Sengsara sekali," kata Djoko Pekik dalam sebuah wawancara kepada detik.com.

2. Lukisan Berburu Celeng

Salah satu karya lukis terkenalnya adalah Berburu Celeng. Karyanya menggambarkan keadaan para pemimpin Indonesia pada masa Orde Baru.

Seri lukisan lainnya Berburu Celeng Merapi kini dihibahkan kepada Museum Anak Bajang, Omah Petruk, Pakem, Sleman.

3. Lukisan Miliaran Rupiah

Djoko Pekik tak hanya pandai melukis yang membuat namanya melambung lain. Lukisan-lukisannya seharga miliaran rupiah, salah satunya Go to Hell Crocodile yang menggambarkan seekor buaya berwarna hitam dengan lidah menjulur merah.

Buaya itu berada di antara rumah penduduk desa. Tapi di dalam lukisan juga terdapat lingkaran yang porosnya makin lama makin kecil.

Djoko Pekik membanderol lukisannya senilai Rp 6 miliar.

4. Ramalan Kasus Mantan Ketua MK Akil Mochtar

Djoko Pekik pernah punya cerita tentang sebuah lukisan Pawang Pun Kesurupan yang sarat kritik sosial. Lukisan itu disebutnya sebagai ramalan ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam lukisan yang dibuat pada 8 Desember 2012 menggambarkan wajah peradilan di Indonesia yang carut marut saat para hakim ikut serakah memakan apa saja termasuk duit rakyat.

"Saya bukan seorang peramal. Lukisan itu hadir sebagai perenungan batin akan nasib bangsa yang lebih dari sekadar edan, melainkan sudah kesurupan," katanya.

5. Muatan Kritik Sosial

Dalam setiap lukisan-lukisan Djoko Pekik, ia selalu mengkritik kondisi sosial dan politik yang ada di Indonesia. Meski inspirasinya berasal dari perasannya sendiri.

Pergolakan batin melihat keadaan negeri yang dianggap makin tak karuan. Tak pernah lukisan tersebut dijiplak dari bacaan atau aliran seni orang lain.

"Saya tidak pernah baca referensi atau nyontoh lukisan orang. Sesuatu yang menyakitkan hati, mengendap di hati, perasaan itulah yang mengeluarkan tema dan inspirasi. Perasaan yang menuntun tangan saya," ujarnya.

6. Lukisan Buaya

Djoko Pekik menceritakan mengenai inspirasi lukisan buaya yang terinspirasi Bung Karno. "Go to Hell Crocodile. Ini pinjam kata Bung Karno waktu mengusir neo-kolonialisme Amerika. Jadi ini saya gambarkan Indonesia sekarang ini masih tetap dijajah dengan masih dibukanya tambang di Indonesia. Hasilnya mengalir ke Amerika semua disedot orang lain. Namun ini dulu kan saya bikin tahun 2014," ujar Djoko.

7. Warisan Terakhir

Anak keempat Djoko Pekik Nihil pakuril menceritakan ayahnya berpesan untuk menjaga karya-karya seni yang ditinggalkan.

"Pesannya ke kami, anak-anak harus menjaga apa yang diwariskan khususnya karya-karya bapak," ucapnya.

"Karya terakhir bulan Maret, karena bapak jarang sekali berkarya (setelah sakit). Dalam satu tahun paling lima karya," imbuhnya.




(tia/dar)

Hide Ads