Mengenal Sistem Produksi Audio di Konser

Mengenal Sistem Produksi Audio di Konser

Asep Syaifullah - detikHot
Jumat, 16 Des 2022 10:02 WIB
Ilustrasi Menonton Konser
Ilustrasi penonton konser musik. Getty Images/iStockphoto
Jakarta -

Pada festival musik atau konser, tentunya audio memegang salah satu peran penting. Hal itu agar acara dapat terlaksana dengan baik.

Terganggunya produksi suara dari musisi membuat ketidaknyamanan tak hanya untuk para penonton saja, namun musisi yang tampil juga sama. Seperti yang terjadi belakangan ini saat Thomas tampil bersama Ahmad Band.

Ia sampai melemparkan bass. Sebab ternyata ada masalah di sound serta kabel pada alat musiknya tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikcom pun berbincang dengan salah satu pelaku dan sosok yang bertanggung jawab dengan penampilan beberapa musisi di Tanah Air, salah satunya Tulus. Ia adalah Gilar Nurzamman, pria lulusan Melbourne Polytechnic yang sudah hampir 20 tahun berkecimpung di industri musik dan konser.

Ia mengawali karier sebagai seorang loader hingga akhirnya menjadi sound engineer. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana sebenarnya proses hingga akhirnya sound di dalam konser tercipta.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, ada banyak elemen dan pihak yang terlibat untuk hal tersebut. Mulai dari pengangkut barang (loader), pemasang (installer), teknisi listrik, membuat desain, sistem dan peralatan yang digunakan (sound designer), pengatur mixing console (mixer), hingga akhirnya bisa dinikmati oleh para penonton.

"Jadi ada perbedaan antara audio dan sound. Kalau audio itu adalah produksi (signal audio) yang diolah dari input, lalu diproses dalam mixer (prosesor), hingga keluar di loudspeaker baru jadi sound (suara). Jadi sound adalah hasil bunyi-bunyi yang dihasilkan setelah proses pengolahan di dalam prosesor (mixing console)," ungkapnya saat ditemui di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Ia pun menyebutkan gairah para promotor untuk membuat banyak acara musik memiliki nilai positif dan negatif tersendiri. Terkadang ada beberapa faktor yang dilupakan demi sebuah acara terselenggara dan mendapatkan banyak untung.

Gilar Nurzamman, sound engineering beberapa musisi di Tanah Air.Gilar Nurzamman, sound engineering beberapa musisi di Tanah Air. Foto: Dok. Instagram

Gilar yang juga menjadi konsultan dari acara-acara musik itu pun mengaku sempat memutuskan untuk mundur dari proyek konser gegara sistem yang berantakan.

"Ya kadang ada juga yang bandel, RAB-nya belum keluar tapi sudah jual tiket. Padahal kan belum ditentuin bagaimana jumlah penontonnya dan sistem sound sampai rundownnya."

"Karena yang gue tawarkan di sini kan kredibilitas gue. Kalau ada masalah (amit-amitnya) pada acara itu kan gue juga yang kena," terangnya.

Tak hanya itu saja, ia pun turut merasakan adanya pergeseran dari pola penonton dan penyelenggara konser. Beberapa event disebutnya tak terlalu lagi mengutamakan bagaimana sound yang dihasilkan.

Kebanyakan lebih mengutamakan momentum dan sekadar eksistensi saja di acara tersebut.

"Lihat deh sekarang VIP itu jadi paling depan, padahal kalau dari segi audio itu depan bukan posisi yang terbaik untuk mendengarkan musiknya. Sekarang banyak yang menjual akses di depan agar bisa dekat saja sama artisnya, bukan menikmati konser dengan pengalaman terbaik," ujarnya.

Meskipun termasuk tugasnya pula untuk mencari formula terbaik agar sound yang dihasilkan bisa dinikmati oleh semua penonton yang hadir, baik itu di depan hingga ke barisan paling belakang.

Hitung-hitungan terkait sistem audio pula yang kadang menjadi salah kaprah di beberapa promotor dan vendor-vendor konser. Mereka lebih sering membahas soal kekuatan daya listrik dari speaker yang digunakan bukan decibel (dB) sebagai satuan bunyi.

"Padahal kalau di audio itu bukan kayak matematika biasa. Contohnya dua speaker bisa saja hasilin 100 dB, tapi ketika kita tambah dua kali lipat nggak jadi 200 db, malah mungkin cuma 103 doang. Karena ada frekuensi-frekuensi tertentu yang justru malah mematikan sumber suara yang lain. Jadi speaker satu bisa saja mengganggu speaker lainnya kalau secara penanganan tidak baik," terangnya.

Baginya, kini industri musik dan event di Tanah Air sudah memasuki era yang lebih baik. Baik secara sistem ataupun penghargaan pada para pekerja di balik layarnya.

Padahal skill pekerja Indonesia justru bisa diadu dengan staf-staf lain dari luar negeri.

"Kalau orang luar negeri itu cuma bisa satu konsol, misal konsol A dan dikasih konsol B mereka belum tentu bisa mengoperasikan. Tapi kalau orang Indonesia dikasih apa saja bisa. Cuma terkadang ada di antara mereka yang tidak tahu kenapanya, karena tak terlalu banyak yang belajar secara formal," pungkasnya.




(ass/mau)

Hide Ads