"Kami selaku pendiri bersepakat menciptakan visi dan misi yang sama untuk mengembangkan industri ini melalui program yang dapat menciptakan ide baru, edukasi, networking, dan pengembangan lainnya guna mempersiapkan pelaku industri agar dapat berkembang dan bersaing secara internasional," ujar Sekretaris Umum APMI, Emil Mahyudin.
APMI berdiri di atas empat tujuan yang mereka sebut sebagai pilar utama, yakni ide (idea), jejaring (networking), pendidikan (education), dan inovasi (innovation). Sebab empat hal itu dinilai penting untuk diperoleh promotor.
"Dengan adanya potensi yang cukup besar industri pertunjukan dan festival musik di negeri ini, kami ingin mencoba membangun ekosistem yang baik dan sustainable bagi pelakunya," jelas Dino Hamid.
Terbentuknya APMI tidak lepas pada contoh yang telah dilakukan negara lain. Berbagai negara, telah memiliki asosiasi promotor musik lebih dulu, di antaraya Association of Independent Festival (AIF), Music Venue Trust (MVT), Association of Festival Organisers (AFO), All Japan Concert & Live Entertainment, hingga Turkish Promotor Association.
Keberadaan serikat promotor musik itu dianggap mampu mendorong industri pertunjukan musik dan membuatnya kian bergeliat. Disebutkan dalam keterangan yang diterima detikcom, Rabu (28/10/2020), Britania Raya meraup 1,1 miliar Poundsterling dari sektor live music dan mempekerjakan 20 ribu orang pada 2018. Angka naik 10 persen dari tahun sebelumnya.
Di Amerika Serikat, Nielsen Music menyebutkan ada 52 persen dari masyarakat AS yang menonton pertunjukan musik secara langsung pada 2018.
Indonesia sendiri memiliki sejumlah festival musik tahun yang layak diperhitungkan, di antaranya Java Jazz, Prambanan Jazz, Djakarta Warehouse Project, We The Fest, Hammersonic, Love Festival, hingga Synchronize Festival.
"Ini dilandasi untuk kepentingan bersama yang lebih besar di industri showbiz Indonesia," jelas Anas Alimi. (srs/aay)