Sayangnya, ketika tindak pelecehan seksual di konser terjadi, umumnya kita yang melihat, maupun yang menjadi korban cenderung diam saja.
Sebagai saksi mata, idealnya, kita tidak hanya diam saja ketika pelecehan tersebut terjadi. Akan tetapi, mengapa mereka yang menjadi korban juga enggan berbicara mengenai hal tersebut?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada kasus-kasus kekerasan seksual pada musisi dan kadang antar musisi. Aku kira di dunia yang ideal, kita memang harus berani untuk speak out, tapi kadang untuk menjadi berani, untuk jujur, untuk speak out bagi korban itu nggak semudah itu," ujar Rara dalam diskusi yang berlangsung di Thamrin, Jakarta Pusat.
Rara pun menyebutkan penyebab mengapa perempuan cendurung tidak mau bersuara ketika dirinya menjadi korban. Pertama adalah karena tidak dipercaya dan kedua adalah kecenderungan masyarakat untuk malah menyalahkan korban.
"Misalnya di sosmed ada seorang perempuan yang menceritakan kronologi pelecehannya, ada berapa yang percaya? Atau banyak yang nanya pake baju apa?" ungkap Rara.
"Aku merasa musisi perempuan diobjektifikasi dan musisi laki-laki banyak yang menormalisasi itu. Kalau ada perempuan yang protes, protes itu jadi sesuatu yang sunyi, tidak ada yang mendukung," kata Rara lagi.
Gender Specialist dari UNDP, Yenny Widjaja, mengatakan apabila untuk memereangi pelecehan seksual di konser, tidak cukup hanya korban yang berbicara. Akan tetapi, butuh pula dukungan dari banyak pihak dan hal tersebut dilakukan secara kerja kolektif.
"Kadang-kadang kalau melihat tindakan pelecehan kalau lapor dianggap aib, akhirnya tidak melapor karena kita takut dipermalukan, sehingga pertama pendekatan kultural itu penting," jelas Yenny.
"Yang namanya awareness harus banyak. Mungkin sudah dilakukan tapi belum cukup. Yang kedua adalah dukungan lingkungan, kita butuh perlindungan. Kita juga butuh perlindungan secara formal maksudnya adalah hukum, misalnya RUU PKS," sambungnya.
(srs/dar)