Tom Morello kemudian maju ke tengah panggung. Ia pun mengucapkan sepatah dua patah kata untuk para penonton.
"Terima kasih telah membuat kami merasa sangat disambut," ucapnya. Dirinya kemudian mengenang mendiang Chris Cornell yang merupakan rekannya dalam Audioslave di panggung.
Instrumental 'Cochise' pun dibawakan. Para penonton serempak bernyanyi, seakan menggantikan Chris Cornell yang tak lagi bisa bernyanyi di atas panggung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'Bullet in the Head', 'Living on the 110', 'How I Could Just Kill A Man', 'Bulls on Parade', 'Fight the Power', hingga 'Killing the Name' dibawakan dengan bergelora.
Pada lagu 'Killing the Name', sebagian penonton bahkan mengacungkan jari tengahnya. Tulisan 'Make Jakarta Rage Again' dengan latar merah muncul dilayar.
'Bombtrack' dari Rage Against the Machine menjadi lagu penutup dari penampilan mereka malam hari ini.
Belakangan, Indonesia memang diterpa berbagai isu sosial, mulai dari rencana RUU P-KS yang mandek, RUU KUHP, isu rasisme, toleransi beragama, dan lain-lain. Terlebih, Indonesia baru saja melewati pemilihan umum dan pemilihan presiden.
Meski Prophets of Rage tidak mengaitkan penampilannya dengan isu apapun, namun menonton mereka di tengah kondisi politik negara saat ini, menjadi luapan emosi yang tepat.
Selepas konser tersebut, lagu 'Black Hole Sun' dari Soundgarden diputar mengiringi langkah penonton pulang. Rasanya seperti bukan hanya menonton baru saja menonton konser, rasanya seperti baru berteriak lantang dalam sebuah demonstrasi melawan sistem.