Ternyata Tak Semua Orang Merayakan Musik

Ternyata Tak Semua Orang Merayakan Musik

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Kamis, 31 Agu 2017 13:56 WIB
Ternyata Tak Semua Orang Merayakan Musik
Foto: Getty Images
Jakarta - Musik adalah untuk semua orang. Kalimat tersebut bukanlah sebuah kalimat yang asing, melainkan lumrah terdengar. Jargon tersebut tak hanya diamini, namun juga diyakini dan digunakan di banyak tempat.

Tak jarang pula kalimat tersebut berkembang menjadi kalimat sejenis, misalnya musik ada di mana-mana, atau musik adalah bagian dari hidup.

Nyatanya, perayaan musik untuk semua itu masih menyisakan sebuah tanda tanya. Musik yang seperti apa? Siapa semua orang itu? Jika musik memang untuk semua, ada di mana-mana, atau menjadi bagian dari hidup, kenapa ada genre musik yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika ingin menutup mata, kita bisa mengatakan hal itu terjadi hanya karena perihal selera. Tapi mengapa pendengar genre tertentu nyaris datang dari status sosial yang sama?

Dalam buku 'Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer', penulis Taufiq Rahman mengajak pembacanya untuk mempertanyakan hal serupa. Tentang adakah hubungan kelas sosial dengan musik.

Pada bab 'Menulis Musik adalah Menulis tentang Manusia' di dalam buku tersebut, ia bahkan menyebutkan, bisa saja jargon "seni hanya untuk seni (art pour l'art)" menjadi sesuatu yang 'omong kosong'. Karena nyatanya, terdapat hierarki di antara pendengar musik.

Mengutip buku Jeremy Wallach yang berjudul 'Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997-2001', Taufiq Rahman menuliskan:

Satu hal yang susah untuk ditolak adalah bahwa reproduksi dan erat penerimaan budaya sangat terkait erat dengan pembentukan idenditas manusia. "Cultural production and reception are linked to identity formation has become a commonplace in cultural studies," demikian saya kutip dari Jeremy Wallach di buku Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 1997-2001 hal. 3.

Masih tentang pembentukan identitas ini, Wallach selanjutnya menyimpulkan: "Actual encounters of producers and consumers with particular artifacts (bayangkan ini sebagai CD, kaset, dan vinyl - yang bahkan dengan urutan penyebutannya saja sudah bisa menggambarkan hierarki sosial ekonomi dan kelas konsumennya) should be taken seriously by scholars wishing to explore the construction of identity in particular times and spaces," (Wallach, ibid, hal. 5) .

Dengan kutipan di atas menggambarkan bahwa musik (dan mungkin produk budaya lainnya), memang memiliki identitasnya sendiri, oleh siapa dan orang seperti apa, jenis musik tertentu akan didengarkan.

Bila tidak demikian, keadaan tersebut dapat di balik menjadi, musik bisa saja menjadi suatu alat yang membentuk identitas. Misalnya dengan mendengarkan seorang musisi tertentu, itu menjadi pernyataan diri, di mana posisi kita berada di masyarakat.

Jika musik klasik atau orkestra atau musik yang kerap dianggap sebagai 'musik cerdas' lainnya berada di kasta Brahmana, maka musik dangdut atau melayu dan 'musik rakyat' lainnya kerap dianggap berada di kasta Sudra.

Hal tersebut juga terlihat dalam berbagai panggung musik. Pemandangan seragam bisa dengan mudah terlihat di berbagai festival musik. Mengapa seragam? Karena penontonnya pun berasal dari golongan yang sama.

Lantas, apakah hal itu memang sudah seharusnya ada penggolangan seperti itu? Bukankah yang seharusnya, musik menjadi hal yang bisa dirayakan oleh siapa saja, menjadi hiburan yang seharusnya bisa dirasakan semua orang?

Hari ini detikHOT mencoba membahasnya dari berbagai perspektif. Nantikan beritanya hanya di detikHOT! (srs/nu2)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads