Omzet Puluhan Juta! Toko Musik Bawah Tanah Blok M Tetap Hidup

Omzet Puluhan Juta! Toko Musik Bawah Tanah Blok M Tetap Hidup

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Rabu, 06 Jan 2016 07:30 WIB
Foto: Asep Syaifullah
Jakarta - Masih tentang penutupan besar-besar toko-toko musik di Indonesia dan kultur musik modern. Namun kali ini, detikHOT menemukan hal yang kotradiktif dari berita-berita sebelumnya.

Selama ini semua pernyataan merujuk bahwa toko musik tutup karena tak ada lagi penjualan yang maksimal. Tidak ada lagi minat beli di masyarakat, bahkan menyalahkan geliat musik yang katanya lesu. Tapi nyatanya, semua kini terbantahkan dengan fakta bahwa masih ada puluhan toko musik, setidaknya di Jakarta, yang masih hidup.

Adalah kawasan lantai basement pusat perbelanjaan Blok M Square, Jakarta Selatan tempatnya. Di sana, sekurang-kurangnya ada 10 toko musik yang terus berjalan dengan pesat dan grafik meningkat hingga akhirnya mampu meraup pendapatan bulanan Rp 50 juta. Hadir dengan tempat yang tidak terlalu luas, namun terhampar di sana ribuan rilisan musik yang terus diburu, mau itu CD, kaset tape juga piringan hitam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu yang paling tua bernama Warung Musik. Sebagai pelopor, Warung Musik menapakkan kakinya pada 2010 bersama Agus sebagai pemilik sekaligus penjaga Warung Musik. Lantas, apa yang membuat mereka tetap bertahan hidup?

"Banyak faktor sih, nggak bisa dijabarin secara singkat. Mungkin yang paling mudah, segmennya beda. Dulu, Disc Tarra dan toko yang setipe itu pasarnya pendengar atau penikmat musik. Dulu, para pendengar dan penikmat musik itu nggak punya pilihan lain, kalau nggak ke toko musik ya nunggu di radio kalau mau dengar musik. Sekarang mulai bergeser ke bajakan, digital," buka Agus saat berbincang dengan detikHOT di tengah kesibukannya melayani pelanggan, Selasa (5/1/2015) malam.

"Sayangnya, karakter pendengar musik itu belum tentu ingin beli musiknya. Karena segmen sudah bergeser haluan, pasti penjualan merosot. Nggak mungkin bisa nutupin biaya produksi dan operasional besar dengan jualan CD yang minim,"sambungnya.



"Sedangkan saya, memang skalanya lebih kecil, tapi segmennya beda jauh. Saya bukan mengejar pendengar atau penikmat musik, tapi kolektor musik. Sampai hari ini, kolektor masih terus memburu rilisan musik. Jadi, jualan saya adalah collectible item. Produknya CD, kaset dan vinyl, tapi yang utama ya CD. Karena CD dinilai yang paling praktis, kaset dan vinyl hanya sebagai pelengkap ditambah kaos-kaos," jelas Agus lagi.

Namun, bukan berarti Warung Musik anti terhadap karya-karya baru. Tanpa membeda-bedakan, Warung Musik juga memasukkan beberapa album terbaru pada musisi pendatang baru ke dalam katalog jualanya.

"Mulai ke sini marketnya mulai meluas, jadi saya pun masukin juga yang baru-baru seperti Isyana. Cuma kembali lagi, pasar saya nggak kesitu, tetap ke collectible item. Mungkin nasib saya akan sama seperti mereka (toko musik besar) kalau ngandelin yang baru saja. Dengan barang-barang koleksi, kita jadi punya nilai yang tinggi," ujarnya.

Dengan sistem itu, Warung Musik dan toko-toko lain di Blok M Square mampu tetap hidup tanpa terkena dampak negatif musik digital.

"Kalau di Blok M ini justru cenderung grafiknya meningkat. Di sini mulai itu 2010, saya termasuk yang pertama itu. Karena dari awal pasar kita sudah beda dan jelas. Kalau omset, rata-rata satu bulan itu bisa Rp 40 juta-Rp 50 juta, kadang bisa lebih," pungkasnya.

Agus dan Warung Musik mungkin belum cukup mewakili bahwa sebetulnya toko yang menjual karya-karya musik belum akan mati. Tapi, detikHOT punya sumber-sumber lain yang juga berhasil. Ikuti laporannya di detikHOT! (mif/dal)

Hide Ads