'Melodi': Melodrama dan (Beban) Kritik Sosial dari Dunia Anak-anak

'Melodi': Melodrama dan (Beban) Kritik Sosial dari Dunia Anak-anak

- detikHot
Kamis, 17 Jun 2010 09:56 WIB
Jakarta - Seorang anak kecil dari keluarga miskin, pandai menyanyi, lalu ditemukan oleh seorang produser rekaman? Tidak, ini bukan remake dari film-film zaman Rano Karno kecil. Tapi, karya terbaru sutradara Harry Dagoe Suharyadi ini memang memiliki nafas dan jiwa yang serupa. Minus adegan jualan pisang goreng, tapi tetap didominasi melodrama penderitaan yang pilu.

'Melodi' dibuka dengan adegan-adegan yang memperlihatkan kemesraan yang mengharukan antara ayah dan anak. Ruli (Emir Mahira) selalu ditelepon untuk dilapori sekaligus dimintai pertimbangan ayahnya (Tengku Wikana) dalam proses pembelian sepeda motor bekas. Ayah Ruli seorang tukang ojek yang masih menyewa motor dari seorang bandar. Bahu-membahu dengan sang anak, yang sepulang sekolah bekerja di warung kopi dan ikut rombongan pengamen, ia menabung agar bisa punya sepeda motor sendiri dengan membeli yang bekas.

Ketika Ayah Ruli berhasil membawa pulang motor impian setelah membayar separo terlebih dahulu, dalam perjalanan ia mengalami kecelakaan yang selain melukai dirinya sendiri, juga membuat seorang perempuan (diperankan Djenar Maesa Ayu) cacat. Namun, peristiwa itu mempertemukan Ruli dengan anak perempuan korban kecelakaan itu, Chika.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka pun kemudian bersahabat, sampai pada suatu hari Chika menyarankan Ruli agar mengikuti sebuah lomba menyanyi yang akan digelar. Chika bahkan membayari biaya pendaftaran untuk Ruli karena yakin sahabatnya itu akan menang.

Separo terakhir dari film ini adalah prosesi lomba nyanyi itu. Penyanyi dangdut Vety Vera, dengan kerudung berumbai di dahinya, memerankan seorang ibu yang ambisius dan memaksa anak gadisnya untuk ikut lomba tersebut sambil menekankan harus menang. Dia bilang, lomba nyanyi itu adalah acara besar yang penting, yang akan dihadiri seorang produser.

Tapi ternyata, yang kita lihat, acara nyanyi itu digelar di sebuah arena permainan anak-anak, dengan panggung di tengah-tengah komedi putar, rumah pertunjukkan tong setan dan carousel. Andre Hehanusa mengenakan baju batik, dan duduk di antara tiga orang juri, yang bersama-sama dengan kita menyaksikan perlombaan menyanyi itu, dari babak penyisihan, semi final hingga final.

Seorang balita dengan logat yang masih "pelo" dan memakai wig keriting menjadi pembawa acara, dan membuat kita menjadi bertanya-tanya, ini apa? Sebuah sarkasme "kritik sosial" atas fenomena eksploitasi anak-anak dalam industri hiburan televisi? Atau, sekadar cara film ini menyajikan lawakan?

Balita ini sungguh mengintimidasi penonton, seperti pelawak Daud Separo yang berkali-kali muncul teriak-teriak menyanyikan lagu "Sapu Lidi". Semua itu tentu dimaksudkan untuk melucu, tapi kita malah terganggu karena memang sama sekali tidak lucu. Usaha lain dari film ini untuk melucu adalah ketika rombongan pengamen Ruli melakukan audisi untuk mencari anggota baru.

Di sela perjalanan lomba menyanyi itu konflik demi konflik dimasukkan. Ibu Chika yang sejak awal tak suka melihat anaknya berteman dengan Ruli, mempersoalkan uang pendaftaran Ruli yang tidak jelas asalnya. Chika sendiri juga ikut dalam perlombaan itu, dan Ibu Chika tidak ingin anaknya dikalahkan oleh Ruli. Dia pun melapor ke panitia, dan panitia melakukan investigasi lalu Ruli ditangkap polisi. Padahal, final sudah di depan mata.

Saya menyukai bagaimana Harry Dagoe menampilkan adegan pembelaan kawan-kawannya dari grup pengamen ketika Ruli ditahan polisi. Jika ini mau dijadikan patokan, maka memang pantas jika Melodi diklaim sebagai film musikal. Pada bagian awal kita juga akan menyaksikan Ruli menyanyi sebagai sebuah bentuk dialog. Tapi, selebihnya, nyanyian dalam film ini adalah bagian dari sebuah acara lomba nyanyi, bukan sebagai bentuk dialog antartokoh. Dan, jika sasaran utama film ini anak-anak, maka hasrat untuk menyisipkan "kritik sosial" begitu besarnya, atau bahkan bisa dibilang mendominasi, sehingga menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan unsur "fun" dari film ini.

Emir Mahira yang sebelumnya bermain bagus dalam "Garuda di Dadaku", kali ini kembali tampil dengan menyenangkan sebagai anak orang miskin yang tabah dan optimistis. Tengku Wikana ("Laskar Pelangi", "Merah Putih"), dengan wajah memelasnya, sangat pas menghidupkan tokoh ayah yang harus membesarkan anaknya seorang diri dalam keterbatasan dan penderitaan namun pantang menyerah.Secara keseluruhan, 'Melodi' lebih merupakan sebuah film tentang perjuangan seorang anak mencapai sukses lewat musik, dan "belum" sebuah film musikal. Lelucon-lelucon yang digali pun masih jauh dari dunia kanak-kanak yang menjadi target utamanya.diputar di..... (iy/iy)

Hide Ads