Saya menonton karya terbaru sutradara Rako Prijanto (antara lain D'Bijis dan Benci Disko) ini dengan harapan sebesar itu. Sayang, ibarat membeli lotre, yang saya dapat bukanlah hadiah kejutan melainkan tulisan, "Maaf, Anda belum beruntung". "Roman Picisan" memang benar-benar hanya sebuah roman picisan.
Canting (Artika Sari Dewi) baru saja lulus S-2 dengan predikat magna cumlaude. Film dibuka di sebuah rumah pengrajin batik di Kampung Laweyan, Solo, ketika Canting dengan wajah berbinar melaporkan kelulusannya kepada ayahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
ayah, saya bersedia melaksanakan isi surat ini."
Adegan lalu berpindah ke Bali. Canting sedang berada di rumah besar berdinding kaca, menghibur seorang pengantin wanita yang sedang gundah karena mempelai pria tidak kunjung tiba padahal para tamu sudah datang.
Dari sinilah, kita diperkenalkan tokoh Raga (Tora Sudiro), seorang lelaki yang
karena pernah patah hati menjadi tidak percaya lagi pada perempuan dan pernikahan. Dialah biang kerok ketidakhadiran Tomtom, sehingga membuat Widya (Ririn Ekawati) sang pengantin wanita marah dan memutuskan hubungan. Namun, berkat Canting, mereka bersatu lagi. Dan, Raga juga tetap berusaha
menghalangi mereka bersatu. Dengan perseteruan itu, Canting dan Raga dipertemukan.
Tidak sulit untuk menebak bahwa pertemuan dengan Canting dalam sekejap dan semudah membalik telapak tangan langsung mengubah sikap Raga, yang tadinya tidak percaya lagi pada cinta menjadi menye-menye dengan mengatakan, "Kamu adalah perempuan yang berhasil membuatku jatuh cinta lagi." Tapi kan, tapi
kan..."Sepulang dari Bali ini, saya akan menikah dengan pria yang sudah ditentukan oleh ayah saya." Sampai di sini, Anda masih ingin mengetahui kelanjutan ceritanya? Anda pasti bercanda. Tentu saja, Anda sudah tahu!
Tapi, baiklah, kita lihat bagaimana film ini menyambung alur ceritanya. Jadi, sekembalinya di Solo, Canting pun dengan murung sibuk mempersiapkan pernikahannya, dimulai dari prosesi foto pre-wedding yang membuatnya uring-uringan. Penyebabnya, sang fotografer telat datang. Ah, tentu penyebabnya karena hati Canting sudah tertambat pada Raga. Dan, ketika sang fotografer nongol...jreng jreng jreng...ternyata dia adalah Raga! Dan, tiba-tiba kita merasa sedang duduk di depan televisi pada Sabtu pagi, menonton FTV edisi Bali/Solo/Jogja yang sedang ngetren.
Jadi, masihkah ada alasan untuk menonton film ini? Mungkin, satu-satunya alasan adalah Artika Sari Dewi. Dia memang selalu bermain bagus, dan kali ini berperan sebagai perempuan Jawa yang modern tapi toh masih tetap terkungkung pada nilai-nilai tradisional dan tunduk pada kuasa ayahnya.
Sedangkan Tora Sudiro tidak akan pernah bisa menolong dirinya sendiri lepas dari citranya sebagai pelawak cengengesan. Dengan penataan alur yang dibuat sedemikian rupa agar mudah menyelesaikan konflik-konfliknya, film ini pada akhirnya hanya sibuk berbicara tentang "tempat-tempat indah" itu.
Eksplorasinya pada unsur-unsur eksotik dari budaya Jawa, misalnya prosesi malam midodareni atau melihat Nungki Kusumastuti (sebagai ibu Canting yang lembut dan pasrah) duduk bersimpuh membatik, memang cukup menyenangkan.
Tapi, ya itu tadi, FTV atau bahkan sinetron-sinetron "streaming" pun sudah mulai sering melakukannya, bahkan menjadikannya tren. Jadi, sudah bukan hal yang istimewa lagi. Setting yang berkilau-kilau, juga adegan koreografis kucing-kucingan di labirin kain batik ala Garin Nugroho, tidak mampu mengatasi cerita yang lemah.
(iy/iy)