Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Tapi memasuki tahun 90-an, film nasional mati suri dan menjadikan adegan panas sebagai senjata untuk menarik lagi minat penonton.
Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 berjudul 'Loetoeng Kasaroeng' dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga kemudian lahirnya film 'Darah dan Doa' dari tangan kreatif Usmar Ismail. Hari pertama pengambilan gambar film ini pada 30 Maret 1950 kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional karena hampir semua elemen dalam produksi film ini berasal dari Indonesia. Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu.
Baca Juga: Bioskop Dinilai Berhak Seleksi Film yang Akan Diputar
"Film harus dibuat dengan landasan yang kuat seperti di era 1950-an. Dulu banyak sineas yang dikirim ke Moskow oleh Bung Karno untuk belajar sinematografi," kata Djoni Syafruddin, pengusaha bioskop Indonesia yang sudah berkiprah lebih dari 30 tahun.
Dalam kurun waktu 1960-an sampai 1970-an, film Indonesia dipengaruhi gejolak sosial dan politik. Mulai dari invasi film-film Amerika sebagai propaganda, hingga peristiwa G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film yang rusak.
Kejayaan nasional mulai bergeliat di era 80-an dengan bintang-bintang seperti Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, dan Desy Ratnasari. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, ‘Catatan si Boy’, ‘Blok M’ dan masih banyak lagi.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi pada tahun 90-an industri perfilman nasional mengalami penurunan, yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema seks.

Sebut saja judul-judul seperti ‘Kenikmatan Terlarang’ (1996), ‘Gairah Malam yang Pertama’ (1993) dan judul lain yang tak kalah ‘menyeramkan’. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Di periode ini perfilman Indonesia hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun yang didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.

Hal itu berlangsung hingga muncul ‘Petualangan Sherina’, film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak dan dibintangi oleh Sherina Munaf. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Diikuti 'Laskar Pelangi', 'Ayat-ayat Cinta' karya Chaerul Umam, hingga 'Ada Apa dengan Cinta?".
(ich/ron)