Menurut mereka, Undang-undang nomor 8 tahun 1992 tentang perfilman sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dengan animo perfilman Indonesia.
"Selain itu juga tadi di persidangan saksi-saksi yang diajukan oleh pemerintah mengatakan kalau mereka ketika nonton bioskop masih ada adegan ciuman atau kekerasan, tapi anak-anak masih bisa nonton. Jadi kelihatan sekali kalau LSF tidak menjalankan tugasnya dengan baik, jadi lebih baik dibubarkan saja LSF itu," jelas Riri Riza, sutradara film yang juga tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia saat ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (24/1/2008) petang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fungsi LSF menurut kami seharusnya diganti oleh Lembaga Klasifikasi Film yang bertugas memilah film yang beredar sesuai dengan rate-nya," imbuh Nia.
Sineas-sineas muda itu memang mengaku kecewa dengan LSF. Namun mereka mengaku tidak membenci LSF, Masyarakat Film Indonesia mengungkapkan kalau apa yang mereka perjuangkan di Mahkamah Konstitusi itu demi kebaikan industri film Indonesia.
Dian Sastro yang seharusnya memberikan kesaksian dari pihak Masyarakat Film Indonesia batal bersaksi. Namun dirinya mengaku tidak kecewa dan akan memberikan kesaksiannya seputar permohonan Masyarakat Film Indonesia soal keberadaan LSF 6 Februari 2008 mendatang.
Bintang film 'AADC' itu pun juga mempersoalkan keberadaan LSF dalam industri film Indonesia. "Kalau gue lebih cocok dengan Lembaga Klasifikasi Film, jadi gue bisa milih film-film yang cocok dengan selera gue. Masyarakat pun bisa memilih film yang sesuai dengan rate yang dicantumkan," pungkas Dian. (fjr/yla)