Bukan hanya premisnya yang sama persis, bahkan dua karakter, Anna dan Jimmy, sama sekali tak dirombak, keduanya masih diceritakan sebagai pasangan seleb aktris ngetop dan vokalis band rock. Perbedaan hanya pada sang tokoh protagis kita, bila di film 'Forgetting Sarah Marshall' sang protagonis adalah seorang musisi, dalam 'Mr. Hurt' protagis kita adalah seorang atlet tenis ngetop. Lantas adakah hal-hal baru yang ditawarkan oleh film ini sebagai 'Forgetting Sarah Marshall' dengan nilai-nilai kultural kearifan Thailand?
Sunny Suwanmethanon ('I Fine⦠Thank You Love You', 'Seven Something') berperan sebagai Don Sri-chang, si petenis yang patah hati. Diceritakan ia seorang atlet handal nan berprestasi. Seperti atlet-atlet hebat yang sukses di seluruh dunia, jagoan kita pun memiliki kekasih dari golongan selebritas. Anna (Marie Broenner), seorang bintang film, menjadi kekaksih Don, dan keduanya dianggap pasangan paling hot di Thailand. Anna adalah penyemangat Don dalam setiap keberhasilannya mengalahkan lawan-lawan di lapangan, hingga satu hari ia melamar Anna untuk menikahinya, akan tetapi Anna tak bersedia lantas memutuskan hubungan untuk kemudian mencari pacar yang lain. Don begitu terpukul dan kehilangan semangat untuk bertenis kembali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Saat patah hati itulah, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Pattaya, lantas menginap di sebuah hotel di pinggiran pantai. Pucuk tak dicinta, eh ulam tiba juga. Sang mantan sekonyong-konyong menginap pula di hotel yang sama ditemani sang pacar barunya, Jimmy (Pongsatorn Jongwilak, 'Pee Mak', '4bia'). Don yang memiliki gengsi tinggi pada akhirnya berusaha untuk merebut kembali hati Anna.
Di babak kedua, kita dikenalkan pada tokoh baru, Dew (Mashannoad Suvalmas), teman lama semasa kecil Don di kampungnya. Dew tiba-tiba datang setelah menghilang sekian lama. Dan, ia tak kalah cantiknya dengan Anna. Kemunculan Dew, tak hanya menjadi katarsis dalam cerita, juga ia menjadikan film ini jadi terasa tidak mirip-mirip amat dengan 'Forgetting Sarah Marshall'.
Sineas tanah air bisa belajar banyak lewat film ini tentang bagaimana mencuri ide film lain lantas menjadikannya seperti ide yang baru, persis seperti pepatah yang mengatakan "Curilah cerita film milik orang lain layaknya seorang seniman". Sutradara Ittisak Eusunthornwattana betul-betul mewujudkannya, dengan elegan.
Dalam kerangka skala produksi pembuatan film, 'Mr. Hurt' nampaknya sama dengan kebanyakan film Indonesia, bukan merupakan produksi mahal. Tetapi, film ini memiliki production value di atas rata-rata, teknik penggarapan yang mumpuni, dan yang paling penting; naskah skenario yang amat rapi dan ditulis dengan ketelitian dan skill tingkat tinggi. Tiga hal terakhir ini jarang kita dapatkan pada produksi film-film tanah air.
'Mr. Hurt' mengikuti segala pakem film komedi-romantis, dan bila Anda merasa cocok dengan gaya komedi khas Thailand, maka menonton film ini bisa jadi hal yang menyenangkan. Sudah atau belum menonton 'Forgetting Sarah Marshall' tidak menjadi soal. Sebab pembuat film ini betul-betul membawa cerita 'Forgetting Sarah Marshall' ke arah yang lebih jauh lagi, memelintirnya, lantas membungkusnya dengan kemasan baru hingga kita dapat menerima bahwa film ini memiliki rasa yang berbeda sama sekali.
'Mr. Hurt' tayang di jaringan bioskop CGV dan Cinemaxx.
Shandy Gasella, Pengamat film
(srs/srs)