Pasalnya, isu yang diangkat tentang daerah konflik ini bukan hanya sensitif. Namun juga bisa terjadi di banyak tempat.
"Daerahnya fiksi. Ini perjalanan dari Rampak, daerah yang tenang, tapi cuma deket dari situ kira-kira berjarak 12 jam, itu daerah yang penuh konflik itu namanya Sampar. Daerah ini daerah fiksi, menurutku ini bisa kita relate dengan beberapa daerah," ujar Emil Heradi sang sutradara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang jelas itu (pengalaman yang dialaminya) sekadar pengalaman yang saya serap untuk menjadikannya tulisan. Intinya acuannya bukan hanya tempat daerah yang saya datengin waktu itu, tapi lebih ke mana saja," terang Rifnu.
Meski pun menciptakan semesta sendiri, akan tetapi dalam film ini, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Deli. "Kenapa Melayu karena Melayu lebih universal," ungkap Rifnu. "Tetap ada rasa kedaerahan tapi universal, jadi tidak mengacu ke satu daerah tertentu," sambung Emil.
(srs/tia)