"Masyarakat Belanda memang mengenal Indonesia cukup baik, tapi masyarakat yang mana?" ujar Deputy Chief of Mission KBRI Den Haag Ibnu Wahyutomo pada Festival Film Indonesia (FFI) 2016 di Utrecht, yang baru berakhir Sabtu malam atau Minggu (22/11/2016) WIB.
FFI 2016 yang mengambil tempat di jaringan De Wolf Catharijne Bioscoop, Utrecht, ini mengetengahkan film Indonesia kontemporer: Ada Apa Dengan Cinta 2, Drupadi, Atambua, Sokola Rimba dan Athirah. Produser dan sutradara Riri Reza hadir bersama aktor Nicholas Saputra dan aktris Sissy Priscillia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut Ibnu, Indonesia cukup dikenal baik di kalangan orang Belanda yang pernah lahir dan besar di Indonesia, atau punya afinitas dengan Indonesia, tapi tidak bagi sebagian besar lainnya.
Keawaman itu berpengaruh pada sikap politik, seperti terlihat pada kontroversi perjanjian jual beli Main Battle Tank (MBT) canggih Leopard seri 2A yang mendadak diganjal oleh parlemen Belanda (2012).
Pertimbangannya karena Indonesia adalah negara Islam dan dikhawatirkan tank-tank tersebut akan dipakai untuk menghadapi rakyatnya sendiri yang pro demokrasi, seperti terjadi di Mesir.
Sebelum debat parlemen sampai pada kesimpulan, Dubes RI di Den Haag saat itu (kini Menlu) Retno Marsudi langsung mengambil langkah cepat dan tegas: Jakarta mengalihkan pembelian ke Jerman. Belanda pun terhenyak.
Onbekend maakt onbemind, tak kenal maka tak sayang, kata pepatah Belanda. Indonesia bukan negara Islam, meskipun mayoritas warganya muslim, juga bukan negara sekuler, dan soal demokrasi bahkan Indonesia dapat dikatakan paling maju di kawasan.
"Melalui film ini kita bisa memulai untuk lebih mengenal Indonesia, melihat bagaimana kehidupan, budaya dan perkembangan Indonesia saat ini," tegas Ibnu.
Indonesia Kini
Riri Reza, yang hadir pada festival bersama aktor Nicholas Saputra dan aktris Sissy Priscillia, mengatakan bahwa film arahannya AADC2 sebagai contoh, merupakan gambaran bagian dari kehidupan Indonesia kini.
![]() |
"Kisah cinta, keluarga, dan bagaimana anak muda Indonesia menghadapi tantangan, dengan berbagai macam latar belakang budayanya," jelas Riri.
Menurut Riri, film karyanya itu juga merupakan ilustrasi sikapnya terhadap bagaimana Indonesia seharusnya, dan bagaimana Indonesia dalam pandangannya.
"Yakni Indonesia di mana kita bisa sangat bangga dengan keragaman kita, secara budaya maupun agama, golongan dan lain-lain. Jadi saya pikir itu merupakan hal-hal yang sangat penting dan bisa dilihat dari film yang saya buat kali ini," tegas Riri.
Demokrasi, Toleransi
Bagi Nicholas Saputra, soal Indonesia apa pun pemberitaannya sekarang sudah menunjukkan bahwa Indonesia negara demokrasi yang bisa dibilang salah satu paling sukses saat ini.
Dari film-film yang tersedia dan diputar dalam festival ini dengan variasi dan tahun produksi yang berbeda, masyarakat Belanda juga dapat melihat lebih jauh perkembangan kebudayaan dan gaya hidup di Indonesia.
"Mengenai beragama belum tentu intoleran juga. Setiap ekspresi yang ada di Indonesia juga justru menunjukkan bahwa kita memang sedang dalam proses berdemokrasi. Jadi menjadi religius tidak harus menjadi intoleran," terang Nicho.
![]() |
Inheren dengan Nicho, Sissy Priscillia menekankan bahwa toleransi dalam multikultural, dalam perbedaan dan keragaman, merupakan watak asli bangsa Indonesia dengan budayanya yang terbuka.
Menurut Sissy, dalam AADC2 banyak sekali perbedaan latar belakang dalam geng persahabatan Cinta, seperti apa tulusnya, kedalaman rasanya. Juga bisa dilihat di situ Alya meninggal dengan cara apa. Dia tidak dimakamkan, tapi disimpan abunya.
"Kita ingin menunjukkan dengan perbedaan-perbedaan itu kita bisa sedemikian kuat, bisa saling mencintai satu sama lain," tutup Sissy.
Secara terpisah Korfungsi Pensosbud Minister Counsellor Azis Nurwahyudi menyampaikan bahwa festival sambil mempromosikan kopi Indonesia, Blanco dari Jogja, itu mendapat animo cukup menggembirakan dari penonton Belanda.
"Selama 3 hari berlangsungnya festival film ini menyedot total 1.119 pengunjung, termasuk mahasiswa dan diaspora yang kangen menonton film Indonesia," pungkas Azis.
(es/tia)