Memetik Hikmah dari Sinema Filipina yang Mampu Berjaya di Tokyo Film Festival 2016

Memetik Hikmah dari Sinema Filipina yang Mampu Berjaya di Tokyo Film Festival 2016

Shandy Gasella - detikHot
Jumat, 04 Nov 2016 14:48 WIB
Foto: TIFF 2016
Jakarta - Tokyo International Film Festival (TIFFJP) ke-29 baru saja selesai dihelat dari tanggal 25 Oktober hingga 3 November 2016 di Roppongi Hills, Tokyo, Jepang. Pada acara penutupannya, Kamis (3/11/2016) diumumkan sejumlah film yang meraih penghargaan untuk berbagai kategori. Tokyo Grand Prix (penghargaan tertinggi di seksi kompetisi) diberikan kepada 'The Bloom of Yesterday' karya Chris Kraus (Jerman). Special Jury Prize untuk film 'Sami Blood' karya Amanda Kernell (Kanada). Best Director Award diberikan kepada sutradara asal Italia Hana Jusic untuk filmnya 'Quit Staring at My Plate'.

Film 'Die Beautiful' arahan sutradara Filipina Jun Lana mendapat dua penghargaan sekaligus untuk Audience Award dan Best Actor Award (untuk Paolo Ballesteros). Sedangkan predikat Aktris Terbaik (Best Actress Award) diraih oleh Lene Cecilia Sparrok lewat aktingnya di 'Sami Blood'. Wakil dari Indonesia 'Salawaku' arahan Pritagita kalah bersaing dengan film asal Filipina 'Birdshot' yang dianugerahi Best Asian Future Award.

'The Bloom of Yesterday', film komedi romantis yang mengangkat persoalan holocaust (pembinasaan kaum Yahudi oleh Nazi) di era sekarang, dengan bumbu komedi gelapnya berhasil memenangkan hati para juri yang diketuai oleh Jean-Jacques Beineix (sineas veteran asal Prancis) hingga dianugerahi film terbaik. Padahal bila melihat tema yang diangkat oleh filmnya sendiri, bolehlah dianggap sebagai tema yang klise tipikal film-film indie Eropa, seklise film-film asal Asia Tenggara yang tak henti-hentinya membicarakan isu kemiskinan, gender dan kesetaraan, serta isu-isu khas dunia ketiga lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti isu kehidupan seorang transgender yang diangkat oleh film Filipina 'Die Beautiful'. Sama-sama masuk seksi kompetisi utama, namun harus kalah sebab isu yang diangkatnya bisa jadi masih dianggap "berjarak" bagi penonton Eropa yang masih terluka oleh kekejaman Nazi di masa lampau.

Film-film yang masuk seksi kompetisi TIFFJP tahun ini berbagi sama kuatnya baik dalam sisi cerita maupun teknis penggarapan yang sangat baik secara artistik. 'Die Beautiful' memang agak ngepop dalam hal gaya bercerita bila mau dibandingkan dengan sang film terbaik 'The Bloom of Yesterday' yang gloomy dan terasa sekali ditata dengan mood yang terjaga. Namun, naskah cerita dan penampilan ensambel dari para pemain 'Die Beautiful' jelas di atas rata-rata. Terbukti walaupun tak dianugerahi Tokyo Grand Prix, film ini memenangkan hati penonton dengan diberi predikat Audience Award.

'The Silence of the Sky', film Brazil karya sutradra Marco Dutra secara kualitas masih setara dengan 'The Bloom of Yesterday'. Hanya mungkin saja pilihan isu filmnya tidak menarik, tak seseksi isu yang ditawarkan 'The Bloom of Yesterday' bagi ketua dewan juri Jean-Jacques Beineix asal Eropa itu.

Penonton Indonesia pada umumnya tidak begitu mengenal atau bahkan buta sama sekali dengan sinema Filipina, padahal secara kultur kita berbagi banyak hal yang sama dengan negara asal penyanyi Maribeth "Denpasar Moon" yang melegenda itu. Kita selama ini hanya tahu sebatas film-film Thailand, padahal negara-negara tetangga kita lainnya semisal Kamboja, Vietnam, atau Laos juga mempunyai film-film yang tak kalah menarik untuk kita tonton.

Semoga kemenangan 'Die Beautiful' sebagai film paling favorit, film yang paling disukai penonton yang datang ke TIFFJP tahun ini, dapat membuka pasar ke Indonesia, dibeli distributor film di sini. Sudah saatnya kita tak cukup hanya mengenal film Thailand atau film Malaysia saja. Untuk mencicipi sinema Filipina, 'Die Beautiful' bolehlah didatangkan oleh distributor film di Indonesia, layak coba!

Shandy Gasella pengamat film

(mmu/mmu)

Hide Ads