Melihat Meryl Streep dari Dekat di Pembukaan Tokyo International Film Festival 2016

Melihat Meryl Streep dari Dekat di Pembukaan Tokyo International Film Festival 2016

Shandy Gasella - detikHot
Rabu, 02 Nov 2016 17:20 WIB
Foto: TIFF 2016
Jakarta - Tahun ini kali kedua saya menghadiri Tokyo International Film Festival (TIFFJP), salah satu helatan festival film paling besar nan prestisius di kawasan Asia dan dunia, dan ini tahun ke-29 penyelenggaraannya. Ada yang berbeda ihwal pengalaman menghadiri TIFFJP kali ini. Pada hari pembukaan, ada rasa kegembiraan yang meluap di hati, bukan karena udara Tokyo pada hari itu sejuk seperti udara di Puncak Bogor, melainkan karena pada hari itu ada kesempatan untuk melihat dari jarak dekat sosok aktris idola saya, Meryl Streep. Siapa penggemar film di dunia ini yang tak mengenal aktris luar biasa peraih tiga Piala Oscar itu?

Meryl Streep datang untuk mempersembahkan film 'Florence Foster Jenkins' karya Stephen Frears ('The Queen', 'Philomena') pada upacara pembukaan sebagai film pembuka TIFFJP tahun ini. Tepat pukul 18.00 waktu Tokyo pada 25 Oktober minggu lalu di EX Theater Roppongi, Meryl Streep hadir di atas panggung, dan pada langkah pertama kakinya menginjakkan panggung, para tamu undangan, selebritas, pembuat film, juga para jurnalis yang memadati kursi studio riuh bertepuk tangan penuh kegembiraan.

Bintang besar Hollywood Meryl Streep berada di hadapan saya, tersenyum sumringah, menyapa hadirin dan tak henti-hentinya berkata tentang betapa ia menyukai dan merasa tersanjung bahwa film yang ia bintangi mendapatkan kehormatan untuk diputar sebagai film pembuka. Hingga tiba saatnya film diputar ketika lampu bioskop perlahan menjadi temaram dan gelap seketika.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kota New York, tahun 1940an, di sebuah ballroom hotel yang telah diset sedemikian rupa menjadi panggung pertunjukan. Kita menyaksikan sebuah tablo (pertunjukan drama panggung tempo dulu tanpa dialog), dan St. Clair Bayfield (diperankan oleh Hugh Grant) menarasikan cerita tablonya kepada penonton yang tampak tua-tua dan necis. Hingga sampai kepada akhir kisah tablo itu tampillah Madame Florence yang menjadi bintangnya. Di akhir kisah ia turun dari khayangan dalam kostum anggun dan bersayap layaknya malaikat. Cerita usai, panggung ditutupi tirai, dan penonton bertepuk tangan penuh decak kagum.

Usai pertunjukan, Madame Florence, yang saat itu berusia 70-an awal menyapa para penontonnya, berterima kasih kepada mereka sebab telah memberi apresiasi terhadap karyanya. Namun, terlebih Madame Florence paling berterima kasih kepada St. Clair Bayfield, aktor panggung yang gagal, yang kini lebih memilih untuk menjadi manajer sekaligus suaminya. St. Clair jauh lebih muda ketimbang Madame Florence, mungkin 20 tahun lebih muda. Kemudian kita tahu bahwa pertunjukan tablo tadi dibuat khusus oleh Madame Florence sendiri sebagai produser sekaligus aktris untuk ditonton oleh anggota klub elitnya, The Verdi Club, sekumpulan sosialita borjuis kota New York.

Madame Florence sosialita paling disegani dan dihormati di New York kala itu. Kekayaannya datang dari warisan kedua orangtuanya yang teah meninggal dunia. Pada usia 18 tahun ia menikah, dan baru beberapa tahun kemudian setelah itu ia menyadari bahwa dirinya tertular sifilis dari suaminya. Lalu ia ceraikan suaminya itu hingga kemudian ia bertemu St. Clair dan memutuskan untuk menikah lagi.

St. Clair diperankan dengan begitu penuh daya tarik dan kharisma yang kuat oleh Hugh Grant ('Notting Hill', 'Music and Lyrics'). St. Clair adalah karakter yang kompleks. Ia menjadi suami sekaligus manajar Madame Florence, namun mereka tak tinggal serumah. St. Clair tinggal di apartemen bersama pacar, selingkuhan, atau siapa pun yang bisa ia bawa ke apartemennya. Takut tertular sifilis, Madame Florence memang sengaja untuk selibat dengan suaminya itu. Sepanjang film saya dibuat bertanya-tanya, apakah St. Clair betul-betul mencintai Madame Florence, ataukah dia hanya mengeksploitasinya?

Masih di paruh awal film, lewat satu adegan kita menyaksikan Madame Florence dan St. Clair tengah asik menonton pertunjukan opera. Aktris opera di atas panggung bernyanyi dengan begitu indahnya, suaranya membuat bulu kuduk merinding. Dan, Madame Florence begitu menghayati menontonnya, hingga pada saat sang aktris opera berhenti menyanyi, ia pun berlinang air mata. Rupanya setelah menonton pertunjukan opera itu, Madame Florence kemudian terinspirasi untuk membuat pertunjukan serupa; ia ingin bernyanyi sopran di hadapan ribuan penonton di sebuah hall pertunjukan yang megah. Lantas ia merekrut singing coach untuk melatih kemampuan menyanyinya, sekaligus merekrut seorang pianis handal, Cosme McMoon (diperankan oleh Simon Helberg dari sitkom 'The Big Bang Theory').

Pada saat Madame Florence mulai menyanyi, betapa buruk ternyata suaranya. Ia sama sekali tak bisa bernyanyi, dan Cosme McMoon yang mengiringi nyanyiannya hanya dapat menahan tawa. Hanya pelatih vocalnya yang memuji-muji Madame Florence tentang betapa baik ia bernyanyi, lantaran ia dibayar mahal untuk itu.

Bernyani untuk The Verdi Club adalah satu hal, namun bernyanyi untuk publik di hadapan ribuan penonton adalah hal lain. Dalam kasus Madame Florence, itu bisa menjadi bencana. Carnegie Hall di New York yang dapat menampung 2.000 penonton telah di-booking olehnya, tanggal telah ditetapkan, 25 Oktober 1944. Dan ini menjadi tanggal bersejarah ketika seseorang yang tak bisa bernyanyi sama sekali dapat tampil dalam konser yang tiketnya telah sold out bahkan seminggu sebelum pertunjukannya dimulai.

Film 'Florence Foster Jenkins' ini diangkat dari sebuah kisah nyata, dan Anda dapat mendengar dengan telinga Anda sendiri bila ingin membuktikan betapa jeleknya suara Madame Florence yang asli lewat klip-klip rekaman lagu yang tersedia di Youtube.

Sepanjang hidupnya Madame Florence selalu dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menghormatinya, mencintainya, terlebih dari anggota The Verdi Club yang tak segan-segan memuji keanggunan dan kemampuan menyanyinya. Pokoknya, bagi orang-orang terdekatnya, Madame Florence tampil bak Adele bagi kita yang hidup di zaman sekarang.

Dan, bencana itu pun akhirnya memang benar-benar terjadi. Penonton tak henti-hentinya tertawa, bahkan ada yang histeris hingga perlu dikeluarkan dari ruang pertunjukan. Suasana mencekam. Selang satu hari dari konser besarnya di Carnegie Hall, para kritikus mencacinya. Tanpa bermaksud spoiler —sebab Anda bahkan dapat mengetahui fakta ini lewat laman Wikipedia— ketika mengetahui dan membaca review konsernya dari kritikus New York Post, Madame Florence terkena serangan jantung, dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Shandy Gasella, pengamat film

(mmu/mmu)

Hide Ads