Indonesia Negara Paling Buruk dalam Menjaga Materi Film

Lestari Film Indonesia

Indonesia Negara Paling Buruk dalam Menjaga Materi Film

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Kamis, 31 Mar 2016 14:45 WIB
Foto: Istimewa
Jakarta -

Di antara maraknya peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret kemarin, ada fakta tidak menyenangkan soal layar perak nasional. Indonesia ternyata negara paling buruk dalam menyimpan materi perfilman.

Seluloid yang masih sering digunakan sebagai bahan baku utama proses syuting, sejak era 50-an sampai sekarang, tak pernah disimpan dengan layak. Setidaknya itu yang diklaim perusahaan restorasi film Jakarta Prima Digital (JPD).

Bahkan katanya, perusahaan restorasi di luar negeri pun belum tentu sanggup mengerjakan film Indonesia. Apakah benar demikian?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya yakin kalau perusahaan restorasi di luar itu tidak akan sanggup mengerjakan restorasi di film Indonesia. Film-film yang mereka kerjakan paling rusaknya 20%, sisanya masih bagus. Kalau di Indonesia sisa yang bagus cuma 10%," ungkap Technical Manager JPD, Edwin Theisalia saat berbincang dengan detikHOT beberapa waktu lalu di kantor JPD, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

"Harus diakui Indonesia yang paling parah materinya. Malaysia yang sudah parah saja kalah sama Indonesia," timpal rekan kerja Edwin, Andre Blackham yang menjabat posisi Production Manager seraya tertawa.

Sebagai contoh, Edwin dan Andre menjelaskan tentang kondisi dua film lokal paling populer, 'Saur Sepuh' dan 'Catatan Si Boy'. Dua film yang dirilis hampir bersamaan di tahun 1987 itu menjadi koleksi terparah dari 700 judul yang dimilik JPD.

"Film 'Saur Sepuh' itu kan sekuel sampai lima (judul). Di film yang ke-5, seluloid negatifnya itu dipotong dari film sebelumnya. Terus disambung biar irit budget. Jadi, mereka itu memotong langsung masternya. Padahal 'Saur Sepuh' itu sebetulnya target awal kami untuk direstorasi, tapi jadinya gagal," cerita Andre lagi.

"Sama kaya film 'Catatan Si Boy', dari film pertama sampai ke-5 itu hancur semua materinya pas masuk ke JPD. Padahal itu film paling populer saat itu. Dalam artian produser atau rumah produksinya punya kemampuan untuk menyimpan filmnya dengan layak, tapi nyatanya tidak. Sampai akhirnya seri ke-2 itu sama-sekali belum bisa dikerjakan karena ada sekitar 2000 frame yang rusak total," timpal Edwin.

Fakta pahit itu ditambah lagi dengan fakta lainnya yang menjelaskan bahwa koleksi film-film nasional sejak diproduksi pertama kali pada 1950 silam sampai 2016 tak terlalu banyak. Terpaut jauh dengan negara-negara Asia lainnya, termasuk India dengan panggung Bollywood-nya.

"Masalah di perfilman Indonesia juga, jumlah judulnya nggak banyak. Kalau dihitung kasarnya, nggak sampai 5000 judul aku rasa. Sedangkan ketika kami studi banding ke India, dalam sebulan saja sekitar 1000 film, sepertiganya rata-rata tidak dirilis. Jadi, sekitar 600 judul yang tayang tiap bulan," tutup Edwin sambil tertawa.

(mif/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads