Kira-kira mungkin begitu alasan si pembuat film menaruh adegan tadi di awal, untuk memancing rasa penasaran penonton. Lantas, cerita bergerak mundur, dan kita diperkenalkan kepada si bule yang bernama Tony (diperankan oleh bule tulen, Marcio Sebsam) yang baru saja tiba di Jakarta. Tony adalah jurnalis dari Amerika, entah dari media mana, yang kini ditugaskan mencari berita untuk channel TV Berita Satu di bawah pimpinan -- entah siapa namanya -- yang diperankan oleh aktor laris terfavorit saat ini Ronny P. Tjandra ('Badoet', 'Midnight Show'). Di kantor ia diberi dampingan oleh Satrio (Verdi Solaiman, 'Hari Ini Pasti Menang', 'Pintu Terlarang'), yang ramah dan sangat berjiwa penolong terhadap Tony. Satrio adalah definisi dari kepribadian bangsa Indonesia yang terkenal ramah ini, khususnya terhadap warga asing.
Namun, apa prestasi Tony sebagai seorang jurnalis impor dari Amerika, kita tak pernah diberi tahu, dan Tony tidak tampil meyakinkan sebagai jurnalis kompeten. Ia bahkan kebingungan dalam mencari ide liputan yang hendak ia kerjakan, hingga takdir (yang tentu saja disengaja hadir oleh penulis naskah) mempertemukannya dengan sesosok anak jalanan bernama Acil (Clinton Lubis).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alkisah, wawancaranya tak berjalan manis. Saat Tony lengah, Acil mencuri kameranya dan ngibrit masuk ke gang-gang kampung. Lalu terjadilah adegan kejar-kejaran seperti di awal film tadi. Seiring film bergulir, pada saat-saat Acil dan Tony berhenti sejenak menarik napas dari akting penuh totalitas mereka dalam memperagakan adegan berlari, kita pun diperkenalkan kepada karakter-karakter lain seperti Anggun (Mentari De Marelle, 'LDR', 'Where Is My Romeo'), cewek cantik jelita berhati baik bak bidadari yang berdedikasi menjadi guru bagi anak-anak jalinan tanpa pamrih. Lalu, ada Marni (Shita Destya, 'Sule Ay Need Yu') ibu Acil yang berprofesi sebagai pelacur yang diceritakan sedang terlilit hutang oleh Jampang (Ence Bagus, 'Operation Wedding', 'Jagoan Instan'), preman kampung.
Sutradara Azhar Kinoy Lubis ('Jokowi', 'Belkibolang') membesut film ini bak amatiran yang baru belajar membuat film, dan film ini gagal di segala lini. Tak ada adegan dalam satu menit pun dari total durasi film ini yang tampil --jangankan sekadar meyakinkan-- secara masuk akal. Apa urgensinya memakai aktor bule untuk pemeran utama film ini? Sudahlah aktingnya buruk, tampil wajar biasa-biasa saja ia tak mampu, dan kharismanya nihil. Plot cerita pun tak mendukung keberadaannya untuk dapat diterima akal sehat.
Naskah film ini dikerjakan keroyokan oleh Aristriana, Maria Kibtia, Henry Riady, dan Azhar Kinoy Lubis. Mereka kompak menulis naskah film ini dengan begitu buruknya. Tak cuma Tony, semua karakter di film ini tampil sama karikaturalnya. Misalnya karakter Anggun, cewek cantik yang tinggal di kampung kumuh yang tak pernah terlihat kumel, kucel, selalu tampak cantik mempesona bak anak gedongan yang tinggal di komplek perumahan mewah. Belum lagi di film ini ia diceritakan tinggal sendiri, bekerja menjual gorengan sambil mengemban tugas mulia menjadi guru bagi anak-anak jalanan. Sesekali ia memberikan uang yang lumayan banyak kepada anak-anak jalanan itu; dari mana ia mendapatkan uangnya?
Entahlah, sebelum menemukan jawabannya, kita sudah disodori fakta lain bahwa Anggun juga ternyata pandai berbicara dalam bahasa Inggris. Tak sekadar pandai, ia memang cas cis cus berbicara dengan kosa kata yang baik dalam logat yang kebule-bulean. 'Blusukan Jakarta' adalah jenis film yang mengkhianati semangat pembaharuan dalam sinema Indonesia kontemporer. Di saat sineas lain berlomba membuat film sebaik-baiknya demi menarik penonton agar percaya terhadap film nasional, pembuat film ini malah merusaknya. Sungguh terlalu.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)