'Ach Aku Jatuh Cinta': Dua Dunia Rumi dan Yulia

'Ach Aku Jatuh Cinta': Dua Dunia Rumi dan Yulia

Is Mujiarso - detikHot
Jumat, 05 Feb 2016 16:30 WIB
Ach Aku Jatuh Cinta: Dua Dunia Rumi dan Yulia
Jakarta - Dengan celana cut-bray gaya anak muda dekade 70-an, Chicco Jerikho berdiri di atas tumpukan jerami tebu. Bak penyair di atas panggung pertunjukan, ia melantunkan syair-syair cinta Jalaluddin Rumi untuk merayu cewek yang dicintainya, Yulia. Karakter yang diperankan Chicco sendiri juga bernama Rumi, karena konon ayahnya memang pengagum penyair sufi Persia abad ke-16 itu. Ayah Rumi pengusaha limun, minuman sari jeruk khas Jawa yang dikemas dalam botol. Zaman berubah. Usaha rumahan itu gulung tikar. Lalu, Rumi dan keluarganya menghilang.

Yulia (diperankan oleh Pevita Pearce) merana, dan mencari. Namun, sebelum saling merindukan dan merasa kehilangan, hubungan dua sejoli itu bak Tom and Jerry. Mereka bertetangga sejak kecil. Rumi jahil, dan selalu membuat Yulia menangis. β€œKenapa kamu selalu perlakukan aku seperti ini Rumi?” gugat Yulia dengan nada merajuk manja, pada suatu hari ketika mereka sudah SMA. Kenakalan terakhir Rumi kala itu merebut lipstik dari tangan Yulia. Rumi tak suka melihat Yulia pakai lipstik.

Ibu Yulia juga tak suka melihat anak gadisnya pakai lipstik. Ia dimarahi, atau lebih tepatnya diceramahi untuk tak usah bertingkah neko-neko. Zaman sudah berubah, katanya. Zaman baru telah tiba, katanya. Dan, ternyata, perubahan zaman itu pulalah yang belakangan membuat ayah Yulia pergi. Hanya sutradara Garin Nugroho yang bisa dan boleh β€”dan penonton tak mungkin menolakβ€” membuat adegan perpisahan suami-istri dengan cara yang paling santai, bahkan kocak. Lelaki itu berkemas menata baju-baju di koper, lalu bilang, β€œZaman sudah berubah. It’s over now. Daaaag!” lalu ia mengangkat kopernya dan menghilang ke luar pintu. Penonton tertawa. Yulia dan ibunya menangis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi, ini film tentang apa, sebenarnya? Cukup banyak adegan yang sedih dan mengharu biru, seperti ketika ibu Yulia diam-diam memunguti jambu-jambu yang jatuh di jalanan di depan halaman tetangga. Juga, ketika Rumi mengendap-endap di atas tumpukan tebu, mengawasi Yulia yang mengayuh sepedanya di bawah, dan ketika Yulia sadar, lalu mencari-cari dan memanggil-manggil Rumi, cowok itu malah bersembunyi, tak punya nyali untuk menemui sang kekasih hati. Lalu, Yulia menangis. Lagi. Dan, Rumi juga menangis.

β€˜Ach… Aku Jatuh Cinta’ adalah panggung kethoprak kontemporer ciptaan Garin yang banyak menumpahkan air mata, tapi juga memberikan kesenangan dalam porsi yang sama. Adegan-adegan konyol, norak, berlebih-lebihan bertukar tangkap dengan kesedihan atas rasa kehilangan, seiring perjalanan waktu yang menggilas kehidupan. Garin sendiri menyebut filmnya kali ini lebay, namun tentu semua itu memang disengaja, dan ia juga menyebut ini sebagai film pop.

Apapun istilah yang bisa ditempelkan, Garin adalah Garin, yang selalu menyajikan filmnya sebagai sebuah karya yang kaya akan berbagai unsur dan elemen dari seni-seni yang lain. Seperti menonton β€˜Opera Jawa’ dalam versi lain, β€˜Ach... Aku Jatuh Cinta’ adalah perpaduan antara khalayan dan realitas, panggung dan dunia nyata, metafora dan kelugasan. Stasiun kereta tebu, kompleks candi, lakon teater β€˜Romeo dan Juliet’ menjadi tempat bertemunya dua dunia yang tak lagi punya batas itu. Yulia yang sedang berlatih untuk pementasan sebagai Juliet-nya Romeo, tiba-tiba berpindah dengan sangat halus sebagai Yulia-nya Rumi; karena Rumi dengan tengil menyerobot dialog si tokoh Romeo.

Ada saat ketika penonton tiba-tiba terasa seperti dilemparkan ke dalam dunia β€œmontase” yang bermakna simbolik, penuh perlambang, bahkan filsafat. Pada saat yang lain, penonton sudah berada di dunia bayang-bayang ala wayang kulit. Lalu, dua sejoli itu pun semakin dewasa, kuliah, ikut demonstrasi, terseret dalam perubahan sosial dan politik, untuk kemudian berusaha saling menemukan lagi, saling memahami lagi, mungkin dari awal. Kekacauan demi kekacauan adalah intisari kehidupan yang terus berubah.

Seperti biasa, Garin menjadikan filmnya sebagai semacam komentar sosial. Ini adalah sebuah esei tentang sejarah perubahan yang ditulis oleh seorang profesor nyentrik nan slebor tapi jenius, dan sudah mulai pelupa. Tak semua paragraf berhasil, namun jelas banyak bagian yang berkilau. Jika dinilai secara total, ini sebuah esei yang indah: puitis tanpa kehilangan spontanitasnya yang kadang garing, rapi tapi tetap acak-acakan. Seperti batu-batu candi itu: berantakan, tapi reliefnya abadi.



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads