Yulia (diperankan oleh Pevita Pearce) merana, dan mencari. Namun, sebelum saling merindukan dan merasa kehilangan, hubungan dua sejoli itu bak Tom and Jerry. Mereka bertetangga sejak kecil. Rumi jahil, dan selalu membuat Yulia menangis. βKenapa kamu selalu perlakukan aku seperti ini Rumi?β gugat Yulia dengan nada merajuk manja, pada suatu hari ketika mereka sudah SMA. Kenakalan terakhir Rumi kala itu merebut lipstik dari tangan Yulia. Rumi tak suka melihat Yulia pakai lipstik.
Ibu Yulia juga tak suka melihat anak gadisnya pakai lipstik. Ia dimarahi, atau lebih tepatnya diceramahi untuk tak usah bertingkah neko-neko. Zaman sudah berubah, katanya. Zaman baru telah tiba, katanya. Dan, ternyata, perubahan zaman itu pulalah yang belakangan membuat ayah Yulia pergi. Hanya sutradara Garin Nugroho yang bisa dan boleh βdan penonton tak mungkin menolakβ membuat adegan perpisahan suami-istri dengan cara yang paling santai, bahkan kocak. Lelaki itu berkemas menata baju-baju di koper, lalu bilang, βZaman sudah berubah. Itβs over now. Daaaag!β lalu ia mengangkat kopernya dan menghilang ke luar pintu. Penonton tertawa. Yulia dan ibunya menangis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
βAchβ¦ Aku Jatuh Cintaβ adalah panggung kethoprak kontemporer ciptaan Garin yang banyak menumpahkan air mata, tapi juga memberikan kesenangan dalam porsi yang sama. Adegan-adegan konyol, norak, berlebih-lebihan bertukar tangkap dengan kesedihan atas rasa kehilangan, seiring perjalanan waktu yang menggilas kehidupan. Garin sendiri menyebut filmnya kali ini lebay, namun tentu semua itu memang disengaja, dan ia juga menyebut ini sebagai film pop.
Apapun istilah yang bisa ditempelkan, Garin adalah Garin, yang selalu menyajikan filmnya sebagai sebuah karya yang kaya akan berbagai unsur dan elemen dari seni-seni yang lain. Seperti menonton βOpera Jawaβ dalam versi lain, βAch... Aku Jatuh Cintaβ adalah perpaduan antara khalayan dan realitas, panggung dan dunia nyata, metafora dan kelugasan. Stasiun kereta tebu, kompleks candi, lakon teater βRomeo dan Julietβ menjadi tempat bertemunya dua dunia yang tak lagi punya batas itu. Yulia yang sedang berlatih untuk pementasan sebagai Juliet-nya Romeo, tiba-tiba berpindah dengan sangat halus sebagai Yulia-nya Rumi; karena Rumi dengan tengil menyerobot dialog si tokoh Romeo.
Ada saat ketika penonton tiba-tiba terasa seperti dilemparkan ke dalam dunia βmontaseβ yang bermakna simbolik, penuh perlambang, bahkan filsafat. Pada saat yang lain, penonton sudah berada di dunia bayang-bayang ala wayang kulit. Lalu, dua sejoli itu pun semakin dewasa, kuliah, ikut demonstrasi, terseret dalam perubahan sosial dan politik, untuk kemudian berusaha saling menemukan lagi, saling memahami lagi, mungkin dari awal. Kekacauan demi kekacauan adalah intisari kehidupan yang terus berubah.
Seperti biasa, Garin menjadikan filmnya sebagai semacam komentar sosial. Ini adalah sebuah esei tentang sejarah perubahan yang ditulis oleh seorang profesor nyentrik nan slebor tapi jenius, dan sudah mulai pelupa. Tak semua paragraf berhasil, namun jelas banyak bagian yang berkilau. Jika dinilai secara total, ini sebuah esei yang indah: puitis tanpa kehilangan spontanitasnya yang kadang garing, rapi tapi tetap acak-acakan. Seperti batu-batu candi itu: berantakan, tapi reliefnya abadi.
(mmu/mmu)











































