Dari Soal Asosiasi Sineas hingga Bioskop Alternatif

Curhat Insan Film di DPR (1)

Dari Soal Asosiasi Sineas hingga Bioskop Alternatif

Shandy Gasella - detikHot
Selasa, 30 Jun 2015 12:40 WIB
Jakarta -

Pekan lalu beberapa insan perfilman Indonesia berkumpul di Gedung Nusantara 1 DPR, Senayan, Jakarta. Mereka diundang oleh Venna Melinda, anggota Komisi X guna membahas persoalan anti pembajakan dan penegakan hak kekayaan intelektual. Namun, ketika sekian banyak sineas berkumpul dalam satu ruangan lalu satu per satu di antara mereka dipersilakan bicara, maka isu yang telah disiapkan tersebut tak lagi menjadi pokok bahasan utama lagi. Sebab, ketika berbicara mengenai (persoalan) perfilman Indonesia, ada banyak hal selain pembajakan yang juga sama pentingnya untuk segera ditangani bersama. Pengamat perfilman Shandy Gasella yang juga bekerja di Badan Perfilman Indonesia (BPI) hadir dalam forum tersebut dan melaporkannya untuk detikHOT. Berikut bagian pertama dari empat tulisan.

Reza Hidayat dari Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) ketika mendapatkan kesempatannya untuk bicara, ia menyampaikan soal bagaimana ribetnya mengurus perizinan untuk Aprofi menjadi suatu badan yang legal secara hukum di saat SIUP-nya tak kunjung keluar. Ia menyesalkan betapa sulitnya membuat asosiasi tempatnya bernaung jadi suatu lembaga perseroan. Reza juga menyampaikan soal tidak adanya keterbukaan informasi data jumlah penonton atau nominal keuntungan yang didapatkan dari film-film impor yang ditayangkan di bioskop.

“Padahal bila menyangkut soal film Indonesia selama ini selalu terbuka, kita terima laporan data setiap minggu bahwa film anu sekian jumlah penontonnya. Saya tidak tahu film 'Insidious' itu mendapatkan berapa penonton, jadi ketika nanti para produser film Indonesia juga mau membuat film dengan formula yang sama yang dipakai oleh film-film laku, mereka mau memakai formula yang mana, mereka tak punya data acuan apakah sebaiknya membuat filmya seperti 'Insidious' atau seperti 'Annabele' atau apakah harus seperti 'Kakek Gayung', 'Nenek Sendok' misalnya,” tuturnya diiringi kelakar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kita tidak pernah benar-benar bisa melakukan satu bentuk studi karena tidak ada keterbukaan film apa sih yang sebenarnya paling laku? Kemudian kita bisa belajar, bila peluang itu diberikan,” sambungnya seolah meringkas penuturan sebelumnya.

Sebenarnya untuk bisa mengambil contoh bagaimana agar industri film bisa maju, menurut produser ‘3 Nafas Likas’ ini kita tidak usah terlalu jauh bercermin ke negara Amerika, melainkan cukup dengan melihat negeri tetangga seperti Thailand. Menurutnya, mereka sudah bisa menempatkan film mereka di peta kawasan Asia. “Jadi bila ditanya apa permasalahan film Indonesia, masalahnya banyak, tapi yang paling urgent buat saya itu bagaimana undang-undang perfilman sendiri dijalankan, bagaimana membuat asosiasi-asosiasi kami sebagai sineas itu berstatus legal, bagaimana film bisa didaftarkan, itu yang paling urgent, dan bagaimana kita juga meningkatkan kualitas dari produksi film kita sendiri,” papar Reza lagi.

Embie C. Noer mewakili Kedai Film Nusantara (KFN) menyampaikan bahwa sekitar enam tahun lalu ia dan koleganya pernah menguji coba bioskop dengan format yang berbeda, yaitu bioskop dengan penonton komunitas untuk mengantisipasi bioskop-bioskop yang pada saat ini berbasis mall. Embie melakukan uji scoba di Tanjungpinang dan nampaknya efektif, gagasannya direspons secara baik oleh masyarakat terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan pihak Pemda setempat merasa bahwa bioskop berbeda dengan yang konvensional karena di bioskop semacam inilah, mengutip apa yang disampaikan Embie, "Kata-kata menonton film menjadi membaca film."

Kesulitan yang dihadapi Embie dan rekan-rekannya di KFN antara lain karena format bioskop yang diusungnya adalah bioskop murah, maka tentu saja teknologinya tidak menggunakan proyektor DCP, sebab harganya sangat mahal, sekitar Rp 1 miliar. Maka, Embie menggunakan proyektor biasa yang seharga Rp 200 jutaan, dengan kekurangan: tidak bisa memutar film yang sama secara serentak seperti yang dilakukan jaringan bioskop komersial raksasa. Tentu saja produser khawatir juga apabila salinan filmnya berbentuk non-DCP karena rentan pembajakan. Embie berharap hal ini bisa dicarikan solusinya untuk membangun semacam “mutual trust” antara operator bioskop-bioskop kelas 3 dengan pihak-pihak pemilik film sehingga kedua belah pihak merasa aman.

Mengapa Embie menyodorkan gagasan bioskop rakyat, sebab persoalan pembajakan ini ada kaitannya dengan menurunnya jumlah bioskop. Tahun 80-an ketika Indonesia mulai dibanjiri oleh alat-alat perekam canggih seperti video recorder dan pemutarnya, pada saat yang bersamaan bioskop runtuh. Di satu sisi masyarakat memiliki video player di rumah, di sisi lain keberadaan bioskop berkurang; inilah yang dianggap sebagai sebuah pangsa pasar bagi kalangan-kalangan tertentu yang akhirnya memunculkan pasar-pasar gelap dengan video-video ilegal.

Kehadiran bioskop alternatif yang diusung KFN diharapkan di samping membuat peluang bagi film Indonesia mendapatkan pangsa pasarnya menjadi lebih luas, juga sedikit demi sedikit akan mengurangi jumlah pembajakan. Embie meyakini ada korelasi antara penonton bioskop dengan pembajakan. Dengan maraknya budaya nonton bareng, misalnya untuk pertandingan sepakbola, sebetulnya masyarakat merasakan hal yang berbeda ketika menonton sendirian di rumah dengan menonton beramai-ramai. Karena itu Embie berharap dengan adanya bioskop-bioskop alternatif semacam itu sedikit demi sedikit masyarakat akan terpenuhi keinginannya untuk menikmati film sebagai kegiatan sosial bersama-sama.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia, bekerja di BPI


(mmu/mmu)

Hide Ads