Hanya ada satu-dua film komedi bagus yang hadir terselip di antara gempuran film komedi buruk setiap tahunnya, misalnya 'Finding Srimulat' (Charles Gozali, 2013), dan 'Comic 8' (Anggy Umbara, 2014). Sedangkan film komedi romantis terbaru yang paling membekas untuk saya adalah 'Cinta/Mati', dirilis hampir dua tahun lalu dan disutradarai oleh Ody C. Harahap, orang yang sama yang kemudian menggarap film 'Kapan Kawin?' ini.
Selepas mengarahkan Vino G Bastian dan Astrid Tiar menjadi sepasang kekasih yang tampil baik dan tak terlupakan dalam 'Cinta/Mati', kini giliran Reza Rahadian dan Adinia Wirasti beradu peran di bawah arahannya. 'Kapan Kawin?' bercerita tentang seorang perawan (hampir) tua bernama Dinda (Adinia Wirasti, 'Selamat Pagi Malam') yang terpaksa menyewa seorang aktor kere sok keren nan idealis, Satrio (Reza Rahadian, 'Strawberry Surprise') untuk pura-pura jadi pacarnya, dan lantas dikenalkan kepada kedua orangtuanya yang sudah kelewat sering meneror dirinya untuk segera punya calon suami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Naskah film yang ditulis rombongan oleh Monty Tiwa, Robert Ronny (sekaligus sebagai produser), dan Ocay sendiri jadi kekuatan dan daya utama film ini. Terlebih dialog-dialognya yang pintar hingga ada beberapa line yang bahkan dapat dikutip sebagai kata-kata mutiara, misalnya, "Seneng yang kamu kasih ke orang itu ibarat cek kosong. Kalau kamu mau kasih duit punya duit dulu, kalau kamu mau bikin orang seneng, kamu dulu yang seneng."
Reza Rahadian dalam perannya kali ini lagi-lagi semakin menunjukkan tajinya sebagai aktor kelas wahid, dan nampaknya segala macam topeng karakter yang mesti ia kenakan dari satu film ke film lain dengan mudahnya ia bongkar pasang. Di film ini karakternya sebagai seorang aktor "serabutan" yang sok pintar dan banyak omong tanpa cela dihidupkan dengan begitu meyakinkan olehnya. Dan, yang paling menarik, ia tak pernah tampil semenggemaskan ini sebelumnya, sampai-sampai banyak cewek yang pada saat nonton film ini kebetulan satu studio dengan saya dibuat jerit-jerit tak tertahankan tiap kali Reza muncul. Puncaknya pada adegan ia bernyanyi, ah, adegan itu sendiri memang gokil, original dan tak terduga.
Adinia Wirasti tampil sama baiknya, ia mampu mengimbangi lawan mainnya itu dengan porsi yang pas. Terlebih chemistry antara ia dan Reza begitu kuat terbangun sedari awal hingga seiring durasi film bergulir kita dibuat semakin jatuh cinta saja pada karakter mereka berdua yang menggemaskan. Adu peran kedua tokoh utama kita di film ini memang sangat asyik untuk disaksikan. Namun, yang paling membuat saya senang adalah penampilan Adi Kurdi sebagai ayah Dinda yang pada banyak adegan sering bersinggungan dengan Satrio. Tiap kali Adi Kurdi dan Reza Rahadian berbagi adegan, ada banyak tawa yang meledak di kursi penonton, dan mungkin tawa saya yang paling keras.
Menonton permainan akting dari aktor kawakan Adi Kurdi mempunyai kesan tersendiri buat saya, dan mungkin juga buat siapa saja yang pada masanya pernah menyukai sinetron 'Keluarga Cemara' yang tayang hampir dua dekade lalu di satu stasiun TV. Dalam sinetron itu ia berperan sebagai Abah sang kepala keluarga yang penuh welas asih nan bijaksana. Adi Kurdi bintangnya pada kala itu, dan pembuat film 'Kapan Kawin?' kini memberikan panggungnya kembali kepadanya. Di film ini sebagai peran pendukung ia tak tampil selewat saja lalu dapat dengan mudahnya terlupakan; di film ini Adi Kurdi ikut bersinar serta masih mampu menunjukkan kebolehannya.
Di negeri ini jarang sekali sineas-sineas memperlakukan aktor-aktor tuanya secara benar dan adil. Selama ini selalu hanya aktor-aktor muda umur belasan hingga 20-an yang menjadi bintang. Maka aktor-aktor seperti Ray Sahetapi, Tio Pakusadewo, Mathias Muchus misalnya seringkali hanya kebagian peran-peran kecil minim dialog. Usaha pembuat film ini menciptakan karakter yang diperankan Adi Kurdi menjadi penting dan bukan sekedar tempelan amat layak diapresiasi lebih.
Penyutradaraan, skenario, editing, sinematografi, departemen musik hingga tata kostum tampil maksimal, menjadikan film ini tontonan yang baik dilihat dari segala lini pendukungnya. Jelas sekali rasanya bahwa dalam rangka untuk membuat penontonnya seneng, pembuat film ini sudah seneng dulu, pembuat film ini punya seneng itu, maka ketika seneng itu dibagikan kepada kita, seneng itu nyata adanya, dan bisa kita bawa pulang.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)