Pernah terlibat dalam produksi film dengan PH besar? Ada kendala tertentu?
Saya terlibat dalam pembuatan film 'King' dengan Alenia Pictures. Saya menulis naskahnya, kemudian naskah saya diutak-atik, saya ikuti tapi pada akhirnya saat di pascaproduksi, naskah yang telah diutak-atik itu balik lagi seperti yang saya tulis pada mulanya, karena (cerita yang diinginkan sutradara) gak jalan, ya mau diapain lagi. Pertama persoalannya menyangkut narasi, suara tokoh, dari awal film itu saya rancang dengan sebuah keyakinan bahwa diperlukan sebuah suara narasi tokoh karena ada sejumlah kesadaran-kesadaran yang ketika disampaikan lewat gambar, bila gambarnya gagal menyampaikannya, ya mending diomongin aja, kira-kira begitu. Begitu kemudian narasi-narasi yang saya tulis dilepas, digantikan oleh adegan-adegan dan ternyata usaha itu gak berhasil, akhirnya narasi itu dibutuhkan kembali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa mau menjadi sutradara?
Karena dulu saya pernah menjadi penyair kecil-kecilan, hobi menulis puisi, sebutlah begitu. Itu memuaskan, artinya saya berkuasa atas medium saya, mau saya apa-apain terserah, ada satu dua orang teman yang meleleh hatinya ketika membaca puisi bikinan saya, itu cukup membuat saya bahagia. Kemudian saya belajar menulis naskah film. Menulis skenario itu pekerjaan yang sangat hitung menghitung, strukturnya jelas, hitungannya jelas, hampir kuantitatif. Saya belajar dengan modus yang sama ketika saya menulis puisi, dari menulis skenario, saya belajar sebuah pendekatan disiplin yang lain, misalnya saya kemudian belajar bahwa skenario itu hanyalah sebuah bahan mentah yang nantinya akan menjadi bahan olahan untuk digarap oleh pihak lain lagi. Sejauh ini saya belum pernah menemukan bagaimana kemudian naskahku itu diterjemahkan dengan memuaskan.
Yang paling memuaskan sejauh ini?
[Sambil menerawang] yang paling memuaskan... apa boleh buat, 'King' itu adalah yang paling memuaskan, meskipun saya tidak cukup puas. [tertawa] Film lainnya, 'Keumala', saya tulis dalam waktu yang sangat pendek, di bawah dua minggu. Maka itu adalah naskah sekali tulis, belum sempat diendapkan dan lain sebagainya, dan celakanya ada bagian-bagian plot yang tidak ditangani karena kesulitan di lapangan, bagian-bagian plot itu gak disyuting. Cerita kan menjadi bolong, maka kemudian naskahnya saya berantakin di atas meja, saya susun ulang, saya tambal dengan narasi. Betapa pun 'Keumala' itu juga tidak memuaskan, tapi proses penciptaannya memuaskan, saya menemukan temuan-temuan baru yang berharga.
Apakah menemukan penonton dari film yang kamu buat merupakan tanggung jawabmu sebagai sutradara?
Menurut saya enggak. Idealnya enggak. Saya bikin, kalau produser percaya saya yang bikin ya saya bikinin, tapi bagaimana produser mempertemukan hasil bikinan saya dengan penonton itu urusan produser, harusnya begitu. Tapi di sini kan seringkali bila sebuah film gak laku yang disalahin sutradaranya. Nah, pertanyaannya menjadi lucu ketika kemudian yang terjadi adalah produser nyalahin sutradara, padahal sebelumnya ia tahu film seperti apa yang akan mereka buat. Kalau misanya kamu adalah produser yang tahu apa yang kamu kerjakan, kamu tahu dong dari awal bagaimana caramu ngejual filmnya, kalau gak gitu ya gak usah kita bikin bareng. Kan demikian. Yang mengalami ketidakadilan besar itu adalah sutradara dalam soal industri film di Indonesia.
Ada nggak usaha-usaha kamu sebagai sutradara untuk bisa berkolaborasi dengan penontonmu? Atau, kamu sama sekali nggak peduli menciptakan penonton filmmu sendiri?
Sengawur-ngawurnya saya, saya hidup di lingkungan yang komunal, dimana lingkungan yang komunal itu mengajarkan saya untuk mendengarkan orang lain. Jadi bila misalnya ini adalah sebuah interogasi terhadap seorang kreator maka saya akan menjawabnya begini, "Ya mungkin saya belum cukup dewasa untuk menemukan bahasa-bahasa yang kamu mengerti, tapi kalau boleh saya bicara, mbok percayalah saya tuh kepengen kamu mengerti."
Apa sih yang diinginkan oleh penonton itu? Apakah kamu sebagai fimmaker harus cemas akan hal ini?
Saya tahu betul keinginan mereka. Menciptakan tontonan yang membuat mereka tertawa sungguh-sungguh, membuat mereka menangis sungguh-sungguh, mungkin saya bisa. Namun ini soal kerelaan, hal-hal yang kita tertawakan dan kita sedihkan itu terkadang hal-hal yang... itu sudahlah, mari kita bicara hal-hal lain yang agak lebih penting tetapi tertutupi oleh kebiasaan kita sehari-hari, kebiasaan kita untuk terus-menerus ketawa haha hihi seperti menyaksikan tayangan YKS di televisi dan sebagainya itu kan cerminan banal masyarakat kita. Saya tahu kok penonton maunya apa.
Apa peran penting dari ajang festival-festival film itu yang berdampak terhadap hidupmu?
Festival-festival film itu sangat berpengaruh karena di sana saya bertemu dengan karya-karya lain sutradara lain yang hebat-hebat, terutama itu, saya merasakan betul festival-festival film itu jadi sebuah perayaan, sebuah perayaan atas kreativitas, kecuali FFI ya.
Apakah kamu percaya peranan media sosial dalam banyak aspek membantumu berkreasi dan memasarkan film yang kamu buat ke khalayak ramai?
Ketika 'Optatissimus' tayang di bioskop, itu adalah kali pertama saya memakai Twitter, saya percaya 'Optatissimus' menemukan penontonnya lewat Twitter, sebagaimana pertemuan kita terjadi juga lewat Twitter. Namun kemudian saya sendiri merasa punya ketegangan tertentu dengan media sosial yang satu ini, terlalu riuh rendah, belakangan ini saya masih memakai Twitter tapi menggunakannya untuk sarana mencari informasi saja, tidak untuk mengabarkan diri saya, saya gak tahu apakah ini tepat atau enggak tapi itulah yang sedang terjadi.
Di saat filmmaker lain menggunakan akun Twitter pribadinya untuk jualan film-film mereka, kamu nampak adem-adem saja?
Saya nggak bisa cari follower sebenarnya, bagaimana ya, mau nyamber-nyamber orang di Twitter itu juga kok jengah sendiri rasanya, bukannya saya nggak mau bergaul dengan orang-orang, tapi kok sepertinya ada aspek keinstanan yang saya nggak percaya.
Bila ada satu-dua hal yang menurutmu bakan bisa membuat industri film di Indonesia menjadi lebih baik, apa itu?
Belakangan ini sebenarnya ada satu gelombang kreativitas yang baru, ada banyak pembuat film yang merambah tema-tema baru. Lalu persoalan lainnya adalah memperbanyak channel ruang pemutaran film, semakin banyak bioskop alternatif, mungkin akan memberikan sebuah udara segar untuk kreativitas yang akan muncul, karena jaringan bioskop 21 bukan sesuatu yang ideal untuk film-film alternatif ini. Kita akan segera dilumat oleh arus mainstream, nah bagaimana kita merawat yang sidestream-sidestream ini adalah pertanyaan paling besar yang perlu segera kita temukan jawabannya. Saya percaya kok ada banyak energi kreatif yang menunggu untuk dipresentasikan, hanya saja siapa yang mau menampilkannya? Persoalannya itu. Sekarang banyak sekali festival film, ada Festival Film Solo, Purbalingga, Makassar, dan sebagainya, menurut saya itu adalah cerminan bahwa orang perlu channel yang lain untuk mengapresiasi film, dan bagaimana hal ini kemudian menjadi sesuatu yang accountable, bisa dimasukkan dalam mekanisme bisnis atau ekonomi modern, itu pertanyaannya lainnya. Bila kita berbicara tentang industri kreatif, itu kan yang kita bayangkan.
Apakah seorang filmmaker perlu memiliki rasa tanggung jawab terhadap kebudayaan?
Saya rasa iya. Saya jadi teringat dengan apa yang dibicarakn oleh sutradara Yosef Anggi Noen ('Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya') waktu dia menerima penghargaan di ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2013, dia menang di dua kategori, dua kali naik panggung, dua kali berpidato dan kedua pidatonya sama yang mana isinya berbicara soal ajakan untuk memperlakukan film itu bukan hanya sebagai produk hiburan melainkan juga sebagai produk budaya. Ini pesan yang harus dikampanyekan, kita harus menyebarluaskannya.
Kamu percaya pemerintah memiliki peran dalam membantu filmmaker berkarya?
Seharusnya pembuat film itu bisa berkreativitas secara mandiri. Itu penting, membangun kreativitas dan kemandirian. Tapi kalau kita ngomongan industri tontonan, industri film atau dalam jargon belakangan ini yang lagi ngetren, industri kreatif, mau gak mau kita ngomongin soal regulasi. Dimana-mana kecuali di Indonesia, film itu diproteksi, di tempat kita aja aturan film itu dibiarkan. Kalo gak salah, dalam aturan itu tercantum bahwa 60% dari wktu tayang yang ada di bioskop komersial itu harus ditujukan untuk film nasional, memang itu kemudian tidak akan menjawab seluruh persoalan membuat iklim penciptaan film jadi jauh lebih baik, tapi bila aturan itu dipatuhi dengan sungguh-sungguh saya rasa akan membuat kontribusi yang luar biasa terhadap iklim penciptaan film di Indonesia.
Pernah mendapat bantuan itu dari pemerintah?
Belum pernah. Ya kalau misalnya produser saya dibiayai ke Busan dengan biaya pemerintah menurut saya itu bukan sebuah bantuan, dan saya nggak tahu ya, saya nggak punya data yang jelas tapi saya punya feeling bahwa film itu masih menjadi barang jarahan birokrat. Ada lebih dari satu kementerian yang mengurusi film itu tidak berarti bahwa film itu diurusi dengan lebih baik, menurut saya itu justru cerminan dari kekaburan visi pemerintah. Saya menunggu sesuatu yang signifikan terjadi atas peran pemerintah terhadap keberlangsungan industri film ini, dan itu gak terjadi sampai sekarang! Malah kemudian yang terjadi ya itu tadi, menjadi ladang entah untuk birokrat yang mana untuk menyamankan dirinya saja, bisa jalan-jalan ke sana ke mari, buka booth ini itu di luar negeri, dan berbicara bahwa film Indonesia sudah melanglangbuana di pelbagai festival film di luar negeri yang luar biasa terkenal itu, dan dibuat seakan-akan itu hasil jerih payah mereka, saya gak merasakan sedikit pun kontribusi pemerintah itu.
Seberapa besar peran media membantu kamu sebagai seorang pembuat film?
Peran media itu sangat besar. Dan besarnya peranan yang dimainkan oleh media sudah sampai pada saat di mana media itu juga harus mengembangkan dirinya sendiri. Media harus mendukung pergerakan-pergerakan kreatif yang terjadi di dunia film, nggak bisa segini-segini saja.
Bagaimana sih kamu memandang kritik?
Kritik itu sangat penting. Gampangnya gini, kritik itu menjembatani penonton dengan si pembuat film. Memang penonton bisa dibiarkan begitu saja, tapi dalam pembicaraan publik, kritikus ini memberikan panduan-panduan yang diperlukan bagi publik yang luas ini untuk membuat koridor-koridor demi memahami si film ini. Dan belakangan ini dengan banyaknya pengulas film, itu sesuatu yang luar biasa, menarik dan sangat kontributif secara langsung. 'Optatissimus' itu dibesarkan oleh reviewer, oleh blogger-blogger, mereka kemudian nge-buzz sampai kemudian tanpa promosi yang memadai, 'Optatissimus' mendapatkan penonton yang cukup lumayan. Tapi ya itu tadi, bahwa dunia kritik ini sendiri juga harus mengembangkan dirinya karena dunia filmnya juga berkembang.
Mengapa orang harus menonton 'Toilet Blues'?
Karena ada satu dialog di 'Toilet Blues' yang berbunyi begini: "Terus lu mau bilang gue apa? Gue perek? Gue pecun? Gue bispak?" yang diucapkan dengan sebuah intensi tertentu yang bukan hanya semata-mata ingin memperlihatkan bahwa saya bisa membuat film yang tokohnya bisa ngomong kasar, tapi memang itu sesuatu yang "I mean it". Kita sering sekali dan semakin gampang mendengar kata umpatan yang berseliweran dalam film-film yang kita saksikan, kata-kata kasar yang dulu tidak terdengar di ruang publik sekarang gampang banget kita temui. Pertanyaannya kemudian, kapan kita sungguh-sungguh memikirkan umpatan-umpatan itu?
Dalam 'Toilet Blues', ada tokoh yang saya ciptakan mengumpat dengan sungguh-sungguh lho, ia marah beneran, dan itu diucapkan oleh seorang remaja. Kapan kita sungguh-sungguh mendengar remaja marah? Kapan kita sungguh-sungguh memperlakukan mereka sebagai subyek? Saya membayangkan bahwa anak-anak berumur belasan tahun itu sedang merasakan, mungkin mereka tidak sungguh-sungguh sadari, bahwa mereka sedang dimanufaktur oleh seluruh kecenderungan ini; entah oleh kurikulum sekolah, entah oleh gaya hidup mereka, entah oleh orang tua mereka yang cemas, seperti "Another Brick in the Wall" kalau kata Pink Floyd, dimanufaktur. Kamu harus profesional, kamu harus pinter, kamu harus bisa melakukan segala macam, sampai tiba-tiba jiwamu kosong. Saya berangkat bahwa ketika saya berbicara soal ini ada seseorang diantara remaja-remaja itu yang mendengar.
Film terbaikmu sejauh ini yang mana?
Wah, saya susah jawab ini. Nggak bisa jawab. [tertawa] Masing-masing dari film itu punya prosesnya sendiri, punya historisnya sendiri. Kalau sejarahmu dengan sejarah saya dibandingkan kan nggak adil. Tapi pada ketiganya saya menikmati semua proses yang berlangsung dan berbeda-beda itu.
Katakanlah ada programmer festival film yang mau menayangkan satu saja karya filmmu, bila kamu harus memilih, yang mana?
[Tertawa] Pertanyaannya menjebak. Saya memilih 'Toilet Blues'. Saya merasa ketika membuat film ini, saya mendapatkan banyak penemuan, film ini juga mempertemukan saya dengan banyak hal secara kreatif, dan secara emosional. Saya tuh cah ndeso, salah satu cita-cita saya itu pergi ke luar negeri, dan pergi ke Mekah itu bukan ke luar negeri, saya pengen ke Eropa. ('Toilet Blues' yang diputar di sejumlah festival film internasional telah membawa Dirmawan Hatta "jalan-jalan" ke sejumlah negara, termasuk ke Eropa -Shandy Gasella)
Ada tema-tema besar yang sebenarnya mewadahi film-film saya, ialah tentang perpisahan dan pertemuan. Lewat satu dan lain sebab perpisahan dan pertemuan itu seringkali diperantarai oleh agama. Kalau saya boleh berslogan-slogan ria, lewat film, saya pengen ngomong bahwa manusia itu berada di atas agama. Itu aja sih sebenarnya. Pada zaman dahulu mungkin agama dibutuhkan, tapi sekarang ini sebenarnya hubungan-hubungan manusiawi yang lebih dibutuhkan dibanding peranan agama itu sendiri. Saya akan selalu berbicara soal ini dalam film-film saya mendatang, tentu dengan pelbagai macam cara dan variasi. Menurut saya yang kita butuhkan bukan evolusi fisik, tapi evolusi kesadaran. Saya ingin mengupayakan itu. Sekali-kalinya saya hidup di dunia ini, saya ingin agar hal itu tak luput untuk dibicarakan.
(mmu/mmu)