'Kita vs Korupsi': Menanam Kesadaran Anti Koruptor Lewat Film

'Kita vs Korupsi': Menanam Kesadaran Anti Koruptor Lewat Film

- detikHot
Jumat, 02 Mar 2012 13:08 WIB
Jakarta - Mari kita ingat-ingat, berapa banyak film Indonesia yang mengangkat tema anti korupsi secara terang-terangan? 'Lewat Djam Malam' (Usmar Ismail, 1954), 'Korupsi' (RD Ariffien, 1956), 'Si Mamad' (Sjuman Jaya, 1973), 'Petualang-Petualang' (Arifin C Noer, 1976), dan 'Ketika' (Deddy Mizwar, 2004), serta beberapa dokumenter. Apa lagi ya?

Nah, langkanya film anti korupsi di tengah arus kebebasan berekspresi tentunya menjadi isu tersendiri. Kok bisa sih, apa yang membuat filmmaker tidak mau turun tangan mengganyang koruptor lewat film? Di tengah kekurangan tema itu, Transparency International Indonesia bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Management System International, USAID, dan Cangkir Kopi membuat film omnibus 'Kita vs Korupsi'.

Dari modus produksi, distribusi, dan eksibisinya, kita bisa menangkap bahwa mereka ingin menjadikan isu “anti korupsi” sebagai milik masyarakat. Misalnya, ide cerita diperlombakan dan yang terbaik dijadikan bahan dasar skenario. Dari situ lahir empat film pendek yang dikerjakan oleh 4 sutradara. Masing-masing 'Rumah Perkara' (sutradara Emil Heradi), 'Aku Padamu' (Lasja F. Susatyo), 'Selamat Siang, Risa!' (Ine Febriyanti), dan 'Psssttt... Jangan Bilang Siapa-Siapa' (Chairun Nissa).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari ceritanya, film ini dirancang untuk mengisahkan perjuangan batin personal para karakter utamanya dalam menghadapi tradisi korupsi yang sudah mendarah daging dalam budaya Indonesia sehari-hari, sejak dulu sampai sekarang.

Di film pertama dikisahkan tentang Yatna (Teuku Rifku Wikana), seorang lurah yang saat kampanye mengumbar janji untuk membantu rakyatnya jika terpilih. Ia harus berhadapan dengan Jaya (Icang S Tisnamiharja), seorang kontraktor, dan kaki tangannya yang ingin membeli tanah dari seorang janda muda, Ella (Ranggani Puspandya). Sang janda adalah satu-satunya penduduk yang tanahnya tak mau dibeli, sementara Yatna sudah teken kontrak untuk mengosongkan area itu secepatnya. Di sini, kita seolah dihadapkan dengan cermin bagaimana ulah politikus dan pejabat (daerah) saat kampanye dan berhadapan dengan tindak korupsi.

Film kedua dibesut sutradara yang cukup tinggi jam terbangnya. Hasilnya, sebuah kisah romansa anak muda khas. Adalah Laras (Revalina S Temat) yang mau kawin lari dengan kekasihnya, Vano (Nicholas Saputra) yang bergaya agak rock n’ roll. Karena terburu-buru, di KUA mereka bermasalah dengan kelengkapan dokumen. Datanglah seorang calo yang memakai berbagai alasan agamis untuk melancarkan urusan itu dengan uang pelicin, (“dari pada zina”). Tapi, Laras begitu ngotot tidak mau lewat jalan itu. Bahkan, saat pacarnya yang hampir putus asa itu mau lewat “jalan belakang” ia berkomentar, ”Kalau tahu kamu begini (menyuap petugas), aku mikir dua kali untuk bilang ya pada kamu." Sikap tegas itu berhubungan dengan masa lalunya, antara ayahnya dengan guru SD-nya yang jujur (Ringgo Agus Rahman). Jalannya plot yang maju mundur adalah salah satu nilai lebih film ini.

Film ketiga, garapan Ine Febrianti yang lebih dikenal sebagai aktris. Plotnya juga berjalan maju mundur, antara masa kini dan masa lalu. Intinya, seorang anak yang hendak disuap untuk memperlancar sebuah proyek, teringat akan kegigihan ayahnya, Arwoko (Tora Sudiro) yang dihimpit dilema moral yang berat: apakah akan menerima uang haram dari pengusaha beras, ataukah tetap berpihak pada kejujuran, walau ia sangat membutuhkan uang itu untuk mengobati anaknya yang sedang demam. Di sini, nilai lebihnya adalah upaya departemen desain produksi untuk sedekat mungkin dengan jiwa zaman seputar 1974, mulai dari perabotan rumah hingga uang kertas.

Film terakhir untuk anak gaul, garapan sutradara muda potensial Chairun Nisa. Di sini sang sutradara memakai hal-hal yang sangat dekat dengan generasi digital native: dunia sekolah, kamera, dan media sosial. Di kantin sekolah, terjadi diskusi menarik antara Ola (Siska Selvi Dawsen) yang membeli buku pada Eci (Nasha Abigail) dengan harga yang cukup mahal. Gita (Alexandra Natasha) merekamnya dengan kamera. Tema obrolannya adalah sesuatu yang sudah terjadi belasan bahkan puluhan tahun: murid-murid harus membeli buku-buku pelajaran dari sang guru, tentu dengan lebih mahal, dan itu berkaitan dengan nilai akhir.

Keempatnya mempunyai kesamaan: mulai dari diri sendiri, diawali dengan memberi keteladanan dari keluarga. Keempatnya juga menceritakan, dalam level yang berbeda, kegalauan antara menerima uang sogokan atau kejujuran, di tengah-tengah kentalnya budaya sogok-menyogok di masyarakat kita. Permasalahannya, film ini terlalu ambisius untuk menceritakan banyak kasus dan menjangkau sebanyak mungkin penonton, sehingga kurang fokus siapa sebenarnya target pasarnya.

Hal kedua, tidak semua film pendek itu berhasil memberikan pencerahan secara mendalam tentang “mengapa” harus menolak suap, apa kerugiannya bila kita menerima budaya suap dan apa manfaat dan pentingnya bila kita berpihak pada kejujuran dan kebenaran -baik dari segi agama, etika, atau hukum positif. Dalam 'Aku Padamu' memang dijelaskan bagaimana seorang guru honorer yang idealis tersingkir karena tidak memberikan “upeti”, dan sang guru pun tetap teguh pada sikapnya dengan prinsip, ”Ketika kamu menyerah kepada ketidakjujuran, matahari akan menangis, daan halilintar akan tertawa." Kasus lain, para murid yang tidak membeli buku dari gurunya, di film terakhir, terlihat dirugikan dalam hal pertimbangan nilai akhir. Tapi keduanya kurang mendalam.

Dalam 'Selamat Siang Rissa', sang ayah mendapatkan kepuasan batin dengan menyatakan, "Mungkin saya bodoh, mungkin juga saya salah, tapi kebodohan dan kesalahan saya itu tidak akan saya sesali sampai mati." Tapi, tidak dijelaskan lebih lanjut mengapa ia memilih tidak menerima suap—yang artinya, dia menolak keuntungan-keuntungan finansial bila menerimanya--selain dari sumber kekuatan prinsip moralnya sendiri—dan mengapa mereka bisa memegang prinsip seerat itu. Pun dengan Pak Lurah Yatna di film pertama.

Karakter utama yang cenderung menjadi “nabi” atau “orang super” yang seolah tanpa cela dan sangat teguh menjunjung nilai-nilai anti-korupsi yang akhirnya menjadi kurang manusiawi adalah kelemahan lain. Para tokoh yang teguh dengan sikap anti-korupsinya, secara finansial mengalami kerugian, namun tidak banyak dielaborasi sisi-sisi manusiawi mereka, misalnya kekhawatiran atau kecemasan.

Hal lainnya: film berdurasi 70 menit ini hanya berbicara tentang bagaimana melawan korupsi dengan tidak ikut-ikutan menjadi koruptor dalam level yang sekecil apapun. Film ini tidak berbicara tentang lanjutannya: bila kita sudah bersih, bagaimana dan mengapa harus melawan para koruptor dan praktik-praktik korupsi di sekitar kita, khususnya yang berada di tingkat tinggi. Atau, apa kontribusi masyarakat dalam mengatasi budaya korupsi, khususnya menceritakan kisah sukses kasus-kasus pelaporan ke KPK. Padahal, potensi film begitu besar untuk menjelaskan hal ini.

Tentu tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena memang tujuan film itu tidak diarahkan ke situ. Tapi, harus ditekankan juga bahwa saatnya untuk berani melapor dan bertindak, dalam kasus di film itu: guru yang menjual buku pelajaran lebih mahal, calo di KUA, rekan-rekan sekerja yang saling sogok, dll.

Lepas dari kelemahan-kelemahan itu, film ini patut untuk diapresiasi karena niat mulianya mengampanyekan isu anti-korupsi. Semoga film-film sejenis ini makin marak di industri film kita. Film ini mungkin tidak akan diputar di jaringan bioskop komersial. Produser mengundang semua organisasi untuk memutar film ini di tempat masing-masing dengan mengirim surat ke Sekretariat Club Indonesia Bersih, Jalan Senayan Bawah No. 17, Jakarta 12180 atau ke email clubindonesiabersih@gmail.com.

Ekky Imanjaya, redaktur rumahfilm dan pengajar film di Binus International.

(mmu/mmu)

Hide Ads