Tentu saja, masalahnya bukan lagi sebatas bahwa film Harry Potter akhirnya telat masuk Jakarta. Tapi, dalam pandangan Eric, soal kisruh pajak film impor itu tak lepas dari isu ekonomi-politik perfilman Indonesia sejak awal sejarahnya hingga kini.
Bersama dengan tim dari Rumah Film yang terdiri atas Ekky Imanjaya, Ifan Adriansyah Ismail dan Hikmat Darmawan, Eric melakukan penelitian yang menelusuri sisi ekonomi-politik perfilman Indonesia. Hasilnya, secara garis besar, tim peneliti mendapati bahwa ada ketegangan, persinggungan bahkan pertarungan berbagai kekuatan di luar film, yang menentukan "hidup-matinya" film nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam bahasa yang lebih sederhana dan konkret, tim peneliti mengungkapkan bahwa film nasional mengalami peminggiran ketika harus bersaing dengan film impor. Pengusaha bioskop dituduh mendahulukan film-film impor ketimbang film lokal karena mereka jugalah yang mengimpor film-film tersebut.
Kasus pajak impor film sebenarnya bisa menjadi momen untuk meninjau kembali isu peminggiran itu. Namun, apa yang terjadi? Menteri Jero Wacik justru pasang badan, "ngotot" agar 'Harry Potter 7 (2)' dan 'Transformer 3' masuk ke Indonesia, bagaimana pun caranya. Sehingga, masalah impor film dianggap selesai bukan karena dibenahi aturannya, melainkan ditandai dengan "kembalinya" film Hollywood.
Dianggap selesainya kasus pajak film impor tanpa ada pembenahan apapun, menyisakan masalah distribusi yang merupakan isu utama. Dengan masuknya dua blockbuster yang telah ditunggu-tunggu tadi semua orang senang, tapi pembenahan sistem perfiman kita tertunda lagi. Karya-karya sineas lokal tetap di pinggiran dalam distribusi yang sepenuhnya berada di tangan kekuasaan perusahaan jaringan bioskop.
(mmu/mmu)