'Tusuk Konde': Tafsir Sensual Tragedi Rama-Sinta

'Tusuk Konde': Tafsir Sensual Tragedi Rama-Sinta

- detikHot
Kamis, 04 Nov 2010 16:47 WIB
Jakarta - Teater musikal 'Tusuk Konde' karya Garin Nugroho diperkenalkan dengan keterangan yang agak membingungan. Dua dari trilogi? Tentu saja yangΒ  dimaksud tak lain bagian kedua dari trilogi. Garin memang selalu aneh. Tidak di layar lebar, tidak di panggung pertunjukan. Tapi, kata aneh perlu buru-buru mendapat penjelasan. "Aneh"-nya Garin adalah bentuk eksplorasi kreatif yang tak henti-henti, pada wilayah-wilayah kesenian yang barangkali sudah lama dilupakan banyak orang.

Dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (3/11/2010) malam, 'Tusuk Konde' mendapat applause yang hangat dan meriah dari penonton. Hampir seluruh kursi terisi penuh. Siapa yang tak penasaran dengan kolaborasi antara sineas dengan musisi dan koreografer kelas internasional? Kalau bukan karena Garin, rasanya sulit membayangkan Eko Supriyanto, yang telanjur dicitrakan oleh media semata-mata sebagai "penari Madonna" menarikan gerakan tari jawa klasik diiringi gamelan yang ditata oleh Rahayu Supanggah.

Ini adalah kesempatan pertama bagi publik Tanah Air untuk menyaksikan Trilogi 'Opera Jawa', karena lakon pertamanya, 'Iron Bad' dipentaskan di Zurich. 'Tusuk Konde' sendiri sebelum digelar di Jakarta telah dipentaskan terlebih dahulu di Belanda, Solo dan Yogyakarta. Dan, pementasan ini berbeda dengan 'Opera Jawa' versi layar lebar, meskipun tetap ada benang merahnya sebagai karya yang diciptakan dalam rangka 200 tahun kematian Mozart yang disponsori pemerintah Austria.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sepertinya hanya film 'Opera Jawa', teater musikal 'Tusuk Konde' yang merupakan lagian dari karya lain berjudul sama ini merupakan sebuah panggung kolaborasi yang kaya, penuh semangat, reflekstif sekaligus visioner. Garin bercerita tentang relasi-relasi yang membentuk kekuasaan masa kini dengan pijakan karya klasik Ramayana. Eko Supriyanto sang koreografer sekaligus tampil sebagai Rahwana, simbol keserakahan, kemarahan dan semua sisi gelap kekuasaan. Ia bermaksud menculik Sinta yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya, Rama.

Dalam pentas-pentas Ramayana klasik, Sinta yang kemudian diragukan kesuciannya oleh Rama, akhirnya membakar diri. Namun, dalam 'Tusuk Konde', Garin membuat tafsir baru yang radikal dan tidak hitam putih dimana sosok Rama digambarkan tidak selalu mewakili "kebenaran", dan Rahwana juga tidak selamanya jahat. Dan, Sinta? Dia justru bersimpati dengan Rahwana, dan itu membuat Rama murka dan membunuh sinta dengan tusuk konde.

Garin membangun tafsir barunya di atas konsep visualisasi yang sensual, dan Eko Supriyanto dengan efektif menuangkannya ke dalam gerak-gerak tari yang indah, dinamis dan penuh kejutan. Ada saat ketika pertunjukan menjadi seperti wayang orang yang penuh gemuruh dan gegap-gempita, ada saat ketika tiba-tiba menjadi seperti sendratari yang diam, lambat, datar. Pada bagian tengah, tiba-tiba Eko muncul dengan celana jins, topi laken dan menari dengan lentur dan tangkas layaknya seorang penikmat musik blues.

Secara mendasar, 'Tusuk Konde' mengadaptasi wayang orang, lengkap dengan dalang yang bermonolog pada bagian awal. Tapi, ia menambahkan unsur-unsur kesenian tradisional dari daerah lain seperti Minang, Sunda dan Banyumas. Sentuhan teater modern hadir lewat simbol-simbol gerak yang mengingatkan kita pada teater Rendra, dan masih diperkaya lagi dengan multimedia yang hadir lewat layar besar sebagai background panggung. Layar itu menampilkan visualisasi dari karya-karya instalasi Entang Wiharso dan Tita Rubi.

Kukusan dalam ukuran raksasa maupun mungil diberdayakan sebagai properti panggung sekaligus metafor bagi, barangkali, organ vital perempuan. Sosok-sosok 'wayang kulit' karya Heri Dono pun ikut naik panggung, memperluas 'Tusuk Konde' sebagai karya kolaborasi multidimensi. Musik gamelan yang dikerjakan Rahayu Supanggah tidak hanya menjadi "pengiring", melainkan salah satu unsur yang mandiri dan mengisi. Dengan tempo yang terjaga, bermain pada nada-nada yang tenang, unsur musik (dan tembang yang dibawakan oleh para penari) berhasil memberi penekanan-penekanan dramatik, mengantarkan karya ini menjadi penuh emosi.Β Β 

Dalam bahasa Garin sendiri, 'Tusuk Konde' adalah gambaran tentang Jawa baru, Indonesia baru, sebuah Jawa dan Indonesia dalam kemasan karya pasca-sinema. Anda akan memahaminya bila menyaksikannya sendiri. 'Tusuk Konde' masih akan dipentaskan sekali lagi, di TIM, Kamis (24/11/2010) malam nanti. (mmu/eny)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads