Hal itulah yang dialami oleh Kamila Andhini saat mengerjakan film pendek bertajuk 'Memoriam'. Sutradara berusia 30 tahun itu memilih untuk mengangkat isu humanis dari sudut pandang wanita Timor Leste bernama Maria dan putrinya.
Film dibuka oleh narasi kisah hidup Maria yang diperkuat visualisasi dari guratan wajah seolah melukiskan penderitaan yang pernah dialaminya saat perang dimana ia diperkosa berulang kali dan diperlakukan bak hewan. Setelahnya Maria harus bertahan hidup membesarkan seorang anak perempuan dari salah satu tentara yang memerkosanya. Hari-harinya dilalui dengan ketakutan dan trauma serta teror sang suami yang selalu menyiksanya karena masa lalunya tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada hal menarik yang menjadikan film 'Memoria' berbeda yaitu latar ceritanya di Timor Leste. Seperti yang kita tahu bahwa Timor Leste pernah berperang dengan Indonesia, lalu bagaimana seorang Andhini bisa mendekatkan diri untuk menggali pengalaman pilu dari korban?
Andhini tentunya memiliki pendekatan yang hebat hingga bisa menguak bahkan mengajak sang korban untuk berakting dalam filmnya itu. Tak mudah mengingat saat sedang syuting bersama tim berisikan delapan orang membuat film dari isu sesensitif itu ia sedang hamil tujuh bulan.
Jika Anda menyaksikan film tersebut, maka sanjungan patut dilayangkan pada putri Garin Nugroho itu. Jerih payahnya terbayarkan lewat akting apik talenta lokal, khususnya Maria yang dapat dengan mudah mengolah emosi penonton melalui narasi maupun dialognya bersama sang putri.
Mungkin wajar jika ada ungkapan tak ada kata menang dalam perang.
(ass/tia)