Tapi, rumah dalam film-film horor 10 tahun terakhir umumnya tidak begitu menjadi hal yang menakutkan, mengingat mereka hanya mengandalkan aspek visual horor semata (plus audio yang menjadi penanda setan akan muncul).
Film-film tersebut mengabaikan narrative horror—hal langka di genre ini sekarang. Tapi, kini Indonesia punya 'The Perfect House'. Dari judulnya saja, film besutan Affandi Abdul Rahman ('Pencarian Terakhir', 'Hearbreak.com') ini mengandalkan elemen rumah sebagai unsur penting. Ada apa dengan rumah itu, sehingga ditahbiskan menjadi judul film ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adalah Madam Rita (Bella Esperance, yang bermain dengan sangat gemilang), seorang yang kaku dan “zakelijk”. Segera kita mengetahui bahwa Nyonya Rita menderita obsessive–compulsive disorder (OCD)—misalnya tak tahan dengan debu, makanan harus dihabiskan, table manner, dan letak segala sesuatu harus pada tempatnya—yang dengan tegas namun persuasif dan agak memaksa, membuat Julie menerima tugas itu.
Dibantu Dwi (Wanda Nizar, yang baru saja wafat --semoga dia tenang di sisi-Nya), ia berkemas. Di sana ia diminta mengajar sang cucu, Januar (Endy Arfian) yang katanya selalu murung dan menutup diri setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dan ia pun bertemu dengan Yadi (Mike Lucock), tukang kebun yang tak banyak cakap dan bermata picek—yang mengingatkan kita pada tokoh Igor di film Frankenstein atau Si Bongkok.
Segera, kita dihadapkan pada sebuah villa klasik bergaya Indies yang nuansanya gelap. Segala perangkat rumah tangga—meja, kursi, bahkan bingkai foto, pajangan tengkorak rusa—terasa sangat jadul—dan agak mengingatkan pada 'Rumah Dara'.
Dan rumah itu, kita akan dihadapkan pada perbedaan tajam kuno-modern. Di tempat itu, tidak ada alat modern. Sinyal telepon juga tak terdeteksi. Laptop dan game, tidak pernah dinikmati Januar. Di sana, sepertinya waktu berhenti di zaman Belanda, kecuali mobil yang mereka punya.
Rupanya Rita punya banyak sekali larangan yang menurutnya, “hal terbaik untuk Januar dan semua pihak”, yang membuat bocah belasan tahun itu bête. Masalahnya, Januar sangat cerdas dan normal-normal saja—kecuali sebal dengan peraturan omanya yang mengungkungnya. Lantas, mengapa ia dipekerjakan? Dan apa yang terjadi dengan Lulu, sampai-sampai ibunya begitu penasaran ingin menyelidiki rumah itu?
Sekali lagi kita dihadapkan pada film dengan “pace” dan “editing” yang tidak begitu cepat, namun dengan kuat membangun ikatan emosi penonton dengan karakter-karakternya dan cerita di balik rumah itu. Kalau kita suka dengan film psychological thriller, kita tentu sudah hapal formulanya, dan menebak-nebak misteri seputar rumah itu.
Dan, penonton pun diajak untuk berpikir dan berlaku seperti layaknya detektif: bertanya-tanya, menebak-nebak. Kalau kita melihat poster dan tagline film berdurasi hampir seratus menit ini, sebenarnya sudah ada jawabannya. Judul film anagram, dan secara literal posternya menunjukkan dua sisi kehidupan.
Tagline-nya: “masuklah rumah ini untuk mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya”, juga ucapan sang nenek yang berulang-ulang juga menjadi tanda. Satu lagi: hobi mengggambar Januar mengingatkan kita pada “Don’t be Afraid of the Dark” yang juga berpusat pada rumah.
Kekuatan terbesar film ini sudah tentu ada pada departemen art yang rajin untuk menyampaikan hal-hal detail ke penonton, sehingga mise-en-scene begitu meyakinkan. Dan segala yang ada di dalam frame itu sebenarnya adalah modal penonton untuk menyusun puzzle. Bagian art diperkuat dengan kerja kamera yang dibesut Fauzan Rizal yang menangkap kesan suram dan misteri.
Bagian tata suara juga tak kalah bagus. Perhatikan saja sound saat adegan ketika Julie akan bertemu dengan Rita untuk pertama kalinya. Dan, acting para pemainnya juga kuat, khususnya Bella dan Mike yang hanya mengandalkan gestur tubuh saja.
Sayangnya, plot dan plot-point film ini kurang kuat. Dua pertiga film adalah kesibukan usaha penanaman tentang apa yang terjadi dengan para karakter, dan rumah itu secara keseluruhan. Aksi thriller yang berdarah-darah juga tidak sebanyak yang diinginkan banyak orang. Tetapi, akhir film yang diproduseri Vera Lasut ini cukup memuaskan rasa ingin tahu atau kebosanan penonton di tengah-tengah kisah.
Film ini diputar dan mendapat sambutan di Puchon International Fantastic Film Festival (PiFan) pertengahan Juli lalu. Di negeri sendiri, tentu saja film ini menjadi alternatif yang berbeda dari kebanyakan film di genre yang sama.
(mmu/mmu)