Kisah film produksi 2010 ini begitu sederhana. Becca Corbett (Nicole Kidman) dan suaminya, Howie (Aaron Eckhart) baru saja kehilangan anak mereka yang berusia 4 tahun, yang tewas karena kecelakaan. Delapan bulan berlalu, mereka berhadapan dengan diri sendiri yang gundah dan sedih. Mereka pun pergi ke perkumpulan curhat pasangan dengan problematika yang sama (ada pasangan yang bertahan di sana hingga 8 tahun).
Tapi, mereka tidak bertahan lama. Becca berupaya mencari jawaban lain lewat seorang anak SMU yang sedang mengerjakan proyek komik pertamanya seputar semesta pararel, berjudul 'Rabbit Hole' --yang hingga pertengahan film baru kita ketahui adalah pengendara mobil yang menabrak sang anak. Sedangkan Howie mendapatkan "partner in crime", Gaby (Sandra Oh) yang baru saja ditinggalkan suaminya, dengan saling berbagi ganja, dan rupanya rasa kesepian sedikit menggodanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Howie memilih untuk membiarkan semua apa adanya dan membuatnya sebagai "museum", dan menginginkan anjingnya. Konflik pun terjadi, dan penonton berada di tengah-tengah, ikut kebingungan, dan mesti berpihak pada siapa.
Kok bisa penonton juga menjadi muram? Pertama adalah akting, khususnya dua karakter utamanya, yang mampu meyakinkan penontonnya kalau mereka benar-benar stress karena wafatnya si kecil secara mendadak. Dan mungkin ini alasan Nicole mendapatkan nominasi aktris terbaik di Academy Awards dan Golden Globe tahun ini. Dan kemudian, tema yang universal, yang menyebabkan konsep identifikasi dan proyeksi berjalan.
Dengan proyeksi, seolah penonton berada di ruangan filmis itu dan menjadi bagian dari keluarga atau teman dekat karakter utama, dan berharap semua akan kembali baik-baik saja, dan akan ada penyelesaian yang baik di akhir kisah. Sedangkan identifikasi, seolah-olah penonton menjadi sang karakter utama, atau merasa "senasib sepenanggungan" dengan tokoh-tokoh rekaan itu.
Tapi, ada satu hal yang menjadi kelebihan film yang diadaptasi dari naskah teater karya David Lindsay-Abaire ini. Kalau kita mengikuti dua film Mitchell sebelumnya, 'Shortbus' dan 'Hedwig and the Angry Inch', tentu tahu bahwa karya-karya dia memang provokatif dan penuh keunikan.
Film ini, walau sederhana dan berbeda dengan dua film sebelumnya, tapi mempunyai "keistimewaan" dalam cara bertutur yang berbeda dengan film studio besar berbiaya besar. Perlahan tapi pasti, seperti memancing, penonton diminta bersabar dalam mengungkap puzzle satu demi satu. Sang sutradara tidak memberikan segalanya. Penonton diberi keterbatasan dalam memandang persoalan, bahkan lebih terbatas dari para tokohnya.
Dari awal sampai akhir, kita tidak disuguhi bagaimana kecelakaan itu terjadi, kecuali sangat sedikit. Plot juga tidak selamanya linear, tapi nyaris tidak ada "flashback", sehingga banyak informasi yang tidak terungkap dengan segera. Seperti memancing, kita harus sabar. Dan seperti anak kecil yang diberi puzzle, kita diminta untuk memasangnya lagi, dengan penuh depresi, seperti tokoh-tokohnya.
(mmu/mmu)