'Sanctum': Bersiap untuk Megap-megap

'Sanctum': Bersiap untuk Megap-megap

- detikHot
Jumat, 13 Mei 2011 18:14 WIB
Jakarta - Jika Anda punya trauma dengan laut, atau pernah hampir tenggelam, atau punya problema dengan goa, atau menderita klaustrofobia (takut dengan tempat yang sempit), maka persiapkan mental saat menonton film 'Sanctum'. Film yang digadang-gadang sebagai produksi James Cameron ini akan membawa penontonnya masuk ke dunia reka-percaya sang sutradara yang sebagian besar berada di dalam lorong-lorong gua di bawah laut.

Nafas dari film ini cukup menjanjikan: bagaimana petualang terbesar abad ini, Frank McGuire (Richard Roxburgh) dan timnya mengeksplorasi satu-satunya tempat yang belum pernah dijelajahi manusia, Gua Esa ala. Inilah labirin yang bakal menyesatkan penjelajah, dan menuntut keahlian tingkat tinggi di bidang eksplorasi gua (caving), menyelam (diving) dan mendaki (hiking).

Di adegan-adegan awal—saat Josh (sang anak, diperankan oleh Rhys Wakefield), dan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) sang investor yang juga penjelajah gila) serta pacarnya Victoria (Alice Parkinson) datang ke lokasi--- kita disuguhi betapa cantik dan indahnya pegunungan dan pantai Papua Nugini . Tapi, dalam hitungan menit kita akan berpikir ulang dan malah menyimpulkan sebaliknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Badai membuat satu-satunya jalan keluar-masuk tertutup, dan tim petualang itu harus mencari jalan keluar yang lain, yang sama sekali tidak pernah dijelajahi. Maka penonton pun terseret untuk ikut megap-megap kehabisan nafas, karena selang selamnya bocor, misalnya. Belum lagi ada Victoria yang sama sekali tidak punya pengalaman untuk menyelam dan mendaki. Ditambah, penyakit dekompresi dan hipotermia yang mengintai.

Penonton pun dipaksa untuk berpikir keras: apakah mereka bisa selamat? Atau, mereka akan terperangkap selamanya di sana? Tentu saja plot utamanya, yang mendramatisir cerita, adalah konflik sengit antara ayah dan anak. Si anak merasa sang ayah terobsesi dengan gua dan membuat emosinya menjadi datar. Sang ayah menyatakan bahwa hanya gua-lah yang mengerti dia, dan hanya di gua-lah ia bisa menjadi diri sendiri. Klise, tapi mungkin begitulah kalau orang sudah berbicara soal passion.

Sutradara Alister Grierson dan sinematografer Jules O'Loughlin walaupun tak punya pengalaman dengan kamera 3D yang dikembangkan sejak 'Avatar', tapi menghasilkan karya yang ciamik. Sayang sekali yang ditayangkan di Indonesia bukanlah versi 3D. Namun, selain aksi menegangkan serta aduhainya sinematografi dan setting gua (production designer Nicholas McCallum membangun air terjun bawah laut setinggi 14 meter dengan 20 ribu liter air per menit) sepertinya hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari film kedua sutradara Australia ini.

Film ini berdasarkan kisah nyata saat co-writer Andrew Wight hampir tenggelam dan terjebak di Nullarbor, Yucatan. Tokoh ayah juga berdasarkan pada karakter pendaki/penyelam yang nyata, Bill Stone sang penemu alat canggih re-breather yang dipakai di film ini.

Maka bersiaplah gelagapan karena tabung oksigen jatuh, dan sejauh mata memandang sama sekali tidak ada ruang untuk menghirup udara. Dan, jika hal itu terjadi maka saran saya ikutlah menyenandungkan puisi “Kubla Khan” karya Samuel Taylor Coleridge yang disenandungkan Frank kala menyelam.

“In Xanadu did Kubla Khan A stately pleasure-dome decree Where Alph, the sacred river, ran Through caverns measureless to man Down to a sunless sea…”


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads