Nafas dari film ini cukup menjanjikan: bagaimana petualang terbesar abad ini, Frank McGuire (Richard Roxburgh) dan timnya mengeksplorasi satu-satunya tempat yang belum pernah dijelajahi manusia, Gua Esa ala. Inilah labirin yang bakal menyesatkan penjelajah, dan menuntut keahlian tingkat tinggi di bidang eksplorasi gua (caving), menyelam (diving) dan mendaki (hiking).
Di adegan-adegan awal—saat Josh (sang anak, diperankan oleh Rhys Wakefield), dan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) sang investor yang juga penjelajah gila) serta pacarnya Victoria (Alice Parkinson) datang ke lokasi--- kita disuguhi betapa cantik dan indahnya pegunungan dan pantai Papua Nugini . Tapi, dalam hitungan menit kita akan berpikir ulang dan malah menyimpulkan sebaliknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penonton pun dipaksa untuk berpikir keras: apakah mereka bisa selamat? Atau, mereka akan terperangkap selamanya di sana? Tentu saja plot utamanya, yang mendramatisir cerita, adalah konflik sengit antara ayah dan anak. Si anak merasa sang ayah terobsesi dengan gua dan membuat emosinya menjadi datar. Sang ayah menyatakan bahwa hanya gua-lah yang mengerti dia, dan hanya di gua-lah ia bisa menjadi diri sendiri. Klise, tapi mungkin begitulah kalau orang sudah berbicara soal passion.
Sutradara Alister Grierson dan sinematografer Jules O'Loughlin walaupun tak punya pengalaman dengan kamera 3D yang dikembangkan sejak 'Avatar', tapi menghasilkan karya yang ciamik. Sayang sekali yang ditayangkan di Indonesia bukanlah versi 3D. Namun, selain aksi menegangkan serta aduhainya sinematografi dan setting gua (production designer Nicholas McCallum membangun air terjun bawah laut setinggi 14 meter dengan 20 ribu liter air per menit) sepertinya hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari film kedua sutradara Australia ini.
Film ini berdasarkan kisah nyata saat co-writer Andrew Wight hampir tenggelam dan terjebak di Nullarbor, Yucatan. Tokoh ayah juga berdasarkan pada karakter pendaki/penyelam yang nyata, Bill Stone sang penemu alat canggih re-breather yang dipakai di film ini.
Maka bersiaplah gelagapan karena tabung oksigen jatuh, dan sejauh mata memandang sama sekali tidak ada ruang untuk menghirup udara. Dan, jika hal itu terjadi maka saran saya ikutlah menyenandungkan puisi “Kubla Khan” karya Samuel Taylor Coleridge yang disenandungkan Frank kala menyelam.
“In Xanadu did Kubla Khan A stately pleasure-dome decree Where Alph, the sacred river, ran Through caverns measureless to man Down to a sunless sea…”
(mmu/mmu)