Tentu saja, Hollywoodisme ini bukan hal yang selamanya negatif. Sudah cukup lama juga film Indonesia tidak punya kualitas audio visual alias production values yang setara dengan film internasional. Terakhir, seingat saya, adalah 'Rumah Dara'. Dan salah satu kelebihan film ini, dibandingkan film pertamanya, adalah skenario yang cukup kuat dengan banyaknya konflik. Boleh dibilang, 'Merah Putih' adalah perkenalan karakter, sedangkan 'Darah Garuda' lebih menukik ke berbagai persoalan dengan latar perang di Jawa pada 1947.
Ada soal kepercayaan dan pengkhianatan. Ada seteru antara tentara resmi dengan laskar milisi berbasis Islam (Hizbullah) yang punya nama banyak persamaan tapi lain cara. Ada urusan intelejensia. Ada penggambaran betapa hak asasi manusia dienyahkan saat perang, baik oleh pihak Belanda (van Gaadner, diperankan Rudi Wowor, dan tangan kanannya) atau Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Darah Garuda" adalah sekuel dari trilogi "Merah Putih". Di akhir film pertamanya, pasukan yang dipimpin Amir ((Lukman Sardi) dibantai pasukan Belanda, dan hanya tersisa beberapa orang saja. Mereka lantas membajak sebuah jeep dan menghancurkan iring-iringan bahan bakar penjajah.
Film keduanya adalah kelanjutan kisah heroik mereka. Mereka bertemu dengan pasukan Jendral Sudirman yang sedang bergerilya, dan salah satu pimpinan di sana memerintahkan agar pasukan Amir menghancurkan pangkalan angkatan udara yang hampir selesai, apa pun caranya, apa pun risikonya. Untuk menjalankan misi ini, mereka pun bertemu dengan berbagai rintangan dan hambatan: tertangkap lawan, kalah jumlah tentara, berbagai konflik batin, dan sebagainya.
Masalahnya, semua karakter terjebak pada stereotipe dan akhirnya beberapa karakter tidak berkembang. Si jahat Belanda tetap jahat. Tokoh Amir tetap bijak, si Lastri (Atiqah Hasiholan) tetap tidak peduli dengan perang dan mau menyelamatkan diri sendiri, dan seterusnya. Nyaris tidak ada perang batin, kecuali beberapa karakter saja seperti Marius (Darius Sinathrya) yang memang tidak bisa menembak dan agak penakut.
Generalisasi macam ini tentu saja karena lemahnya skenario (dan mengapa pula tema perang revolusi 1947 di Indonesia digarap orang asing? Apakah tidak ada orang lain?). Berbeda dengan tema serupa yang digarap oleh Usmar Ismail ('Darah dan Doa', 'Lewat Djam Malam', 'Pedjoeang'), atau Asrul Sani ('Pagar Kawat Berduri') yang penuh dengan problematika para pejuang.
Dari seni peran Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah sebagai (Tomas), T. Rifnu Wikana (Dayan), Rahayu Saraswati (Senja), Atiqah Hasiholan (Lastri), dan Ario (Sersan Yanto) bermain cukup natural. Dan, untuk kali ini, Astri Nurdin (Melati, istri Amir), dan Alex Komang (kiai, komandan Hizbullah) diberi porsi sedikit. Yang menarik, film ini dibuka dan ditutup dengan footages klasik dari masa 1940an yang menambah atmosfir perang 1947.
Tapi lepas dari itu, film yang lanjutannya akan dirilis Desember ini (dengan total biaya Rp 64 miliar) mampu menunjukkan kelasnya dan membuat penonton terlarut mengikuti irama cerita. Dan yang terpenting, kalau beruntung, film ini akan memompa nasionalisme dan patriotisme. Dan, mungkin karena sudah percaya diri, tidak ada akhir yang menggantung (cliffhanger/open ending) di film ini. Padahal kalau ada, makin asyik.
Film berdurasi 100 menit ini akan diputar mulai 8 September. Sampai bertemu dengan Hati Merdeka di bulan Desember! Mungkinkah tokoh Jendral Sudirman, yang sempat muncul sekilas, diberi porsi lebih? (iy/iy)