Kali ini, berkisah tentang Ip Man (Donny Yen), tokoh penting aliran Wing Chun, dan keluarganya setelah hijrah ke Hong Kong, 1949. Ip Man begitu miskin, tapi semangatnya mendirikan perguruan bela diri begitu kuat. Kali ini Zhou Qing Quan (Simon Yam, bermain dengan ciamik) yang kala di China Daratan adalah orang terhormat menjadi hilang ingatan dan gila.
Film ini masih memakai formula yang sama dengan film pertamanya, tapi penonton sama sekali tidak keberatan. Adegan pertarungan seperti video game, semakin naik level, semakin sulit mengalahkan lawan. Banyak tokoh yang mengesalkan berubah menjadi baik, atau kita paham bahwa karakter itu sebenarnya baik namun ada di posisi sulit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, film ini tidak hanya bertutur soal silat, kecepatan tangan, kegigihan dalam bertarung, dan sejenisnya. Lebih dari itu, film ini berkisah tentang bagaimana menjalani hidup dengan nilai-nilai, patriotisme, mempertahankan harga diri, solidaritas dan nasionalisme.
Lihat saja bagaimana para pejabat kolonial Inggris, termasuk juara tinju mereka, memandang dan memperlakukan orang China. Hal ini mengingatkan saya pada beberapa film silat klasik dari Bruce Lee dan Jet Li yang berinteraksi dengan petinju dari Barat.
Dan sepertinya, apa-apa yang terpampang di layar tertransfer ke penonton. Kita menjadi terlibat secara emosional untuk memihak protagonis, bahkan penonton akan merasa puas bila lawan-lawan dikalahkan. Dari segi departemen art, mereka berhasil menyajikan atmosfir Hong Kong tahun 1949 dengan meyakinkan.
Bagaimana dengan kemunculan Bruce Lee? Awalnya, film ini akan fokus pada interaksi Ip Man dan muridnya itu. Tapi karena urusan hak produksi dengan ahli waris Bruce Lee belum tuntas, maka kita cukup puas jika yang disodorkan adalah Bruce Lee cilik dalam sekejap.
Tinggal kita sekarang menunggu, The Great Master, Ip Man versi sutradara terkenal Wong Kar-wai yang diperankan Tony Leung dan Zhang Ziyi sebagai istrinya. (iy/iy)