Nama Saritem tak lepas dari sejarah panjang kota Bandung. Sebelum lokalisasi kawasan Saritem ditutup pemerintah, sebenarnya nama tersebut berasal dari perempuan paras cantik yang mitosnya bernama Sari Iteung.
Saritem sudah ada sejak 1838 saat kota Bandung baru berusia 28 tahun sampai akhirnya ditutup pada 2007.
Saritem tak sekadar mitos maupun kisah belaka. Saritem menjadi lekat dengan sejarah bangsa Indonesia sejak era kolonialisme, hingga penyebutan 'Nyai' yang saat itu marak dipakai oleh perempuan pribumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sejarah berbagai literatur, Saritem yang berhasil memikat seorang petinggi Belanda kala itu dijadikan gundik atau perempuan simpanan. Nama Saritem pun mulai dijuluki dengan 'Nyai', layaknya di Batavia ada Nyai Dasima yang dikenal berparas cantik dan memiliki kehidupan penuh liku.
Dalam literatur yang diunggah di situs Kemendikbud.go.id, Saritem mendapat gelar nyai karena pesonanya yang memikat meneer Belanda.
Sebenarnya dari mana julukan 'Nyai' itu mulai dipakai oleh perempuan pribumi kala itu?
Dalam buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay, sang penulis mengatakan istilah Nyai yang digunakan berasal dari bahasa Bali. Kata itu muncul bertepatan dengan momentum perempuan Bali yang juga menjadi gundik atau perempuan simpanan dari orang-orang Eropa.
Kala itu, VOC juga menduduki Pulau Dewata yang dikenal subur pada abad ke-17. Kata 'gundik' artinya adalah istri tak resmi dan tidak tercatat dalam aturan perkawinan yang ada.
Tapi juga kerap dikaitkan dengan perempuan pribumi yang menjadi Nyai setelah menikah dengan meneer Belanda serta memiliki anak. Sayangnya status mereka tidak tercatat dalam kenegaraan karena pria Eropa tidak boleh menikah dengan perempuan pribumi.
Ketika Nyai berpisah dengan meneer Belanda yang dinikahi tak resmi, maka anak kandungnya akan dimiliki dari sisi patriarki atau bapak kandungnya. Literatur yang ditulis oleh Reggie Baay yang juga seorang publisis, memiliki orang tua yang dilahirkan di Indonesia dan pernah menjadi redaktur Majalah Indische Letteren.
Dalam literatur lainnya, seperti dikutip dari detikJabar, Saritem Uncensored karya Wakhudin, Saritem lahir dari fenomena gundik di tangsi militer di kawasan Gardujati, kecamatan Andir, kota Bandung, Jawa Barat.
"Tahun segitu ada tangsi militer di sekitar Gardu Jati, yang jadi jalan Saritem sekarang. Terus Saritem itu satu nyai dari tangsi militer itu," ujarnya.
Gundik sendiri menurutnya adalah perempuan yang tinggal bersama dengan personel militer yang merupakan pria asal Belanda. Sosok perempuan yang menjadi gundik itu disebut sebagai Nyai.
"Nyai di sini itu gundik, pengertiannya itu perempuan yang tinggal bersama orang Belanda," ungkapnya.
Ia menjelaskan, Nyai yang menjadi gundik kemudian diminta lelaki di tangsi militer untuk mencari perempuan lainnya. Sejak saat itu, banyak perempuan yang kemudian tinggal bersama pria Belanda.
(tia/nu2)