Dalam episode ke-2 Stranger Things musim ke-4, Eleven mengintip dari jendela, dia melihat Angela dan teman-temannya sedang berbincang. Dia menangis, usai dirundung habis-habisan. Akan tetapi, air mata itu tak sekadar kesedihan, melainkan simbol keberanian yang akhirnya tumbuh untuk melawan.
Tidak secara langsung memang, tapi keberanian Eleven itu juga yang terpancar dari komunitas sepatu roda bernama Skatelovers. Berdiri sejak 2018, Skatelovers mengembangkan diri sebagai yang paling besar di Indonesia dengan jumlah hingga 500-an anggota, dari mulai usia 5 sampai 59 tahun.
Skatelovers menggunakan sepatu roda dengan jenis quad skate, atau sepatu roda dengan formasi roda segi empat. Berbeda dengan inline skate yang susunan rodanya berbaris di satu garis. Menggunakan quad skate, Skatelovers berkembang dari hobi, toko yang menjual berbagai kebutuhan sampai menjadi tempat menimba ilmu bagi mereka yang mau. Ada sejumlah kelas yang diajarkan mewakili setiap genre; Roller Dance, Agresif dan Artistik. Harganya beragam, mulai dari Rp 250.000. Silakan cek saja akun Instagram mereka, @skatelovers.co
![]() |
Berharap bisa seperti Eleven, atas dasar keberanian yang sama juga, membawa detikHOT untuk menjajal keseruan menari di atas sepatu roda. Bertamu ke markas Skatelovers di Kemang, Jakarta Selatan, detikHOT bertemu langsung empat pendirinya, Marina Tasha, Aya, Nadin dan Jheffry. Berbincang tentang bagaimana mereka memperpanjang umur sepatu roda yang dulu eksis di kalangan anak muda dalam tren disco skate di era 80an. Bagi yang belum tahu, para medio tersebut, terdapat dua bar tersohor bernama Lipstick dan Happy Day di Kawasan Melawai, Blok M, yang ramai dengan kegiatan nongkrong diiringin musik disko untuk berjoget dan berseluncur di atas sepatu roda.
"Awalnya dari gue masih main sendirian di Jakarta. Waktu kecil kebetulan sobatnya bokap yang punya Lipstick, jadi sering diajakin main quad skate ini. Tahun 1994, in line skate masuk, nyobain, ikut komunitas juga sampai ikutan buat olahraga hoki. Lama nggak main, lihat teman main lagi di Bandung sekitar 2016. Baru sekitar 2018 gue sering main, direkam video sama suami gue, kebetulan dia juga main skateboard. Ramai di media sosial, akhirnya ramai pada nanya, mau ikutan," Tasha membuka cerita panjang berdirinya Skatelovers.
"Tapi dulu tuh kita main pakai sepatu custom. Sepatu sneakers Vans kita, dimodifikasi dikasih roda dari quad skate yang tahun 80-an, dipretelin. Jadi gue nyari-nyari ke tukang loak," sambungnya.
Perjalanan awal Tasha itu membawanya bertemu atlet sepatu roda Indonesia di tahun 80-an. Seperti menemukan lagi semangat masa mudanya, sang atlet bersedia membantu Tasha untuk mengajar sepatu roda di Jakarta. Awalnya, mereka mengajukan permohonan ke sekolah atau kampus sebagai lokasi berlatih namun berujung nihil. Mau tak mau, area publik di Jakarta menjadi solusinya, dimulai dari Lapangan Banteng, Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
![]() |
"Seminggu sekali dia ke Jakarta, bawa-bawa sepatu roda, disewain. Kita bikin enam kali pertemuan. Di usir tuh dari Lapangan Banteng, akhirnya ke Stadion GBK. Awalnya waktu main di GBK, CCTV belum nyala masih boleh sampai jam 12 malam. Ketika renovasi, CCTV-nya aktif, sempat kena tegur. Dari situ dibuka Pintu 3 atau Gate C. Kita bikin konten, bareng anak in line skate juga. Dari situ peminatnya semakin banyak, mereka tanya cara ikutannya bagaimana, ada kelasnya nggak, beli sepatunya di mana," kata Tasha lagi.
Pendiri Skatelovers lainnya, Aya dan Nadin mengemban tanggung jawab untuk menjadi pengajar bagi para anggota baru atau murid.
"Jadi memang banyak banget genrenya, kebetulan aku sama Kak Nadin juga suka roller dance, terus kita gabung sama Kak Aca (Tasha) dan Kak Jef untuk ngebangun Skatelovers di kelas-kelas. Awalnya hanya basic dan intermediate, terus ada koreografi, agresif. Sekarang ada program baru namanya roller cardio, jadi kayak fitnes tapi pakai sepatu roda. Memang kita berusaha ngebangun inovasi sepatu roda di luar komunitasnya sendiri, supaya teman-teman di Indonesia punya komunitas yang besar dan solid," Aya menambahkan.