Panjang Umur Sepatu Roda

Pergaulan

Panjang Umur Sepatu Roda

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Jumat, 19 Agu 2022 14:29 WIB
Jakarta -

Dalam episode ke-2 Stranger Things musim ke-4, Eleven mengintip dari jendela, dia melihat Angela dan teman-temannya sedang berbincang. Dia menangis, usai dirundung habis-habisan. Akan tetapi, air mata itu tak sekadar kesedihan, melainkan simbol keberanian yang akhirnya tumbuh untuk melawan.

Tidak secara langsung memang, tapi keberanian Eleven itu juga yang terpancar dari komunitas sepatu roda bernama Skatelovers. Berdiri sejak 2018, Skatelovers mengembangkan diri sebagai yang paling besar di Indonesia dengan jumlah hingga 500-an anggota, dari mulai usia 5 sampai 59 tahun.

Skatelovers menggunakan sepatu roda dengan jenis quad skate, atau sepatu roda dengan formasi roda segi empat. Berbeda dengan inline skate yang susunan rodanya berbaris di satu garis. Menggunakan quad skate, Skatelovers berkembang dari hobi, toko yang menjual berbagai kebutuhan sampai menjadi tempat menimba ilmu bagi mereka yang mau. Ada sejumlah kelas yang diajarkan mewakili setiap genre; Roller Dance, Agresif dan Artistik. Harganya beragam, mulai dari Rp 250.000. Silakan cek saja akun Instagram mereka, @skatelovers.co

SkateloversSkatelovers Foto: /detikHot

Berharap bisa seperti Eleven, atas dasar keberanian yang sama juga, membawa detikHOT untuk menjajal keseruan menari di atas sepatu roda. Bertamu ke markas Skatelovers di Kemang, Jakarta Selatan, detikHOT bertemu langsung empat pendirinya, Marina Tasha, Aya, Nadin dan Jheffry. Berbincang tentang bagaimana mereka memperpanjang umur sepatu roda yang dulu eksis di kalangan anak muda dalam tren disco skate di era 80an. Bagi yang belum tahu, para medio tersebut, terdapat dua bar tersohor bernama Lipstick dan Happy Day di Kawasan Melawai, Blok M, yang ramai dengan kegiatan nongkrong diiringin musik disko untuk berjoget dan berseluncur di atas sepatu roda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Awalnya dari gue masih main sendirian di Jakarta. Waktu kecil kebetulan sobatnya bokap yang punya Lipstick, jadi sering diajakin main quad skate ini. Tahun 1994, in line skate masuk, nyobain, ikut komunitas juga sampai ikutan buat olahraga hoki. Lama nggak main, lihat teman main lagi di Bandung sekitar 2016. Baru sekitar 2018 gue sering main, direkam video sama suami gue, kebetulan dia juga main skateboard. Ramai di media sosial, akhirnya ramai pada nanya, mau ikutan," Tasha membuka cerita panjang berdirinya Skatelovers.

"Tapi dulu tuh kita main pakai sepatu custom. Sepatu sneakers Vans kita, dimodifikasi dikasih roda dari quad skate yang tahun 80-an, dipretelin. Jadi gue nyari-nyari ke tukang loak," sambungnya.

Perjalanan awal Tasha itu membawanya bertemu atlet sepatu roda Indonesia di tahun 80-an. Seperti menemukan lagi semangat masa mudanya, sang atlet bersedia membantu Tasha untuk mengajar sepatu roda di Jakarta. Awalnya, mereka mengajukan permohonan ke sekolah atau kampus sebagai lokasi berlatih namun berujung nihil. Mau tak mau, area publik di Jakarta menjadi solusinya, dimulai dari Lapangan Banteng, Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

ADVERTISEMENT
SkateloversTasha Skatelovers Foto: /detikHot

"Seminggu sekali dia ke Jakarta, bawa-bawa sepatu roda, disewain. Kita bikin enam kali pertemuan. Di usir tuh dari Lapangan Banteng, akhirnya ke Stadion GBK. Awalnya waktu main di GBK, CCTV belum nyala masih boleh sampai jam 12 malam. Ketika renovasi, CCTV-nya aktif, sempat kena tegur. Dari situ dibuka Pintu 3 atau Gate C. Kita bikin konten, bareng anak in line skate juga. Dari situ peminatnya semakin banyak, mereka tanya cara ikutannya bagaimana, ada kelasnya nggak, beli sepatunya di mana," kata Tasha lagi.

Pendiri Skatelovers lainnya, Aya dan Nadin mengemban tanggung jawab untuk menjadi pengajar bagi para anggota baru atau murid.

"Jadi memang banyak banget genrenya, kebetulan aku sama Kak Nadin juga suka roller dance, terus kita gabung sama Kak Aca (Tasha) dan Kak Jef untuk ngebangun Skatelovers di kelas-kelas. Awalnya hanya basic dan intermediate, terus ada koreografi, agresif. Sekarang ada program baru namanya roller cardio, jadi kayak fitnes tapi pakai sepatu roda. Memang kita berusaha ngebangun inovasi sepatu roda di luar komunitasnya sendiri, supaya teman-teman di Indonesia punya komunitas yang besar dan solid," Aya menambahkan.

"Kalau aku dulunya belajar sendiri dance-nya, karena sudah punya dasar nari. Ditambah aku juga belajar secara online dari guru-guru luar juga. Setelah udah banyak tabungan ilmunya, baru kita bagikan ke teman-teman di sini," Nadin melanjutkan.

Dari 300-500 murid yang aktif di Skatelovers, tidak semuanya berasal dari Jakarta atau Indonesia. Banyak juga yang berasal dari luar negeri dan aktif mengikuti kelas online yang diadakan.

"Dulu murid itu dari 8, terus ke 48 orang. Sekarang kalau dilihat di database ada 500-an. Ada yang tinggalnya di Sukabumi, Cirebon, Semarang, Surabaya, bahkan ada yang di Spanyol, Amerika, Filipina juga. Ya bisa dibilang komunitas sepatu roda yang fokusnya ke edukasi, Skatelovers yang pertama dan paling besar," tambah Nadin lagi.

SkateloversNadin Skatelovers Foto: /detikHot



Tentunya akan sayang jika sudah bisa meluncur, tapi tidak bersenang-senang. Itu mengapa, Skatelovers juga punya agenda untuk mengadakan acara dan tampil bersama. Salah satu yang terbaru bertajuk Playback Disco, di mana mereka berseluncur dan menari bersama dengan musik-musik lama dan berdandan layaknya era 70-80.

"Biasanya sih kita ngadain juga roll out bareng. Bisa di CFD (Car Free Day), atau kalau juga nemu tempat baru, main di sana. Kita bikin acara Halloween juga, kita dress up. Main ke skate park juga," Tasha menjelaskan.

Tujuan untuk menjadikan Skatelovers sebagai asosiasi memang belum terpikirkan. Bicara kompetisi, roll dance misalnya, pun masih dirasa sulit atas berbagai alasan. Namun, kalau bicara soal mengembangkan komunitas dan edukasi, masih terus berapi-api agar semua ini bisa langgeng lebih dari sekadar trendi.

"Kalo gue sih nggak mau ini jadi trend, maunya sih bertahan lama, jadi lifestyle juga. Makanya harus ada edukasinya, ada inovasinya, bikin kegiatan jadi orang-orang bertahan terus," Jheffry angkat bicara.

SkateloversJheffry Skatelovers Foto: /detikHot

Segitu semangat mereka berempat terhadap sepatu roda, menggambarkan sepertinya sepatu roda lebih dari sekadar meluncur. Apa yang membuat Tasha, Aya, Nadin dan Jheffry jatuh cinta terhadap sepatu roda begitu dalam?

"Kalo gue tuh tantangan sih, di atas roda itu gue harus bisa mengendalikan. Gue suka adrenalinnya, agresifnya yang bebas ke sana, kemari. Kalau gue lagi trick-trick yang lompat gitu, kayak terbang kesannya. Kalau dance, karena gue bukan anak disko, pakai sepatu roda bawannya mau disko terus," ungkap Jheffry.

"Kalo menurut aku, olahraga ini tuh bikin aku pengen belajar terus. Haus terus besok mau apa lagi dan lagi. Di sini juga aku merasa dan menikmati jadi diri aku sendiri," ujar Nadin.

"Kalo aku juga sama, pengen belajar banyak karena nggak abis habis-habis ya trick ini-trick itu. Dan rasanya, ketika kita sudah pusing sama kerjaan, begitu main sepatu roda semuanya hilang gitu aja, stress release. Jadi healing gitu lah ceritanya," timpal Aya.

SkateloversAya Skatelovers Foto: /detikHot

"Ini meditasi gue sih. Jadi, cukup beli sepatu roda aja itu udah bisa mewakili semua untuk meditasi. Dan, ini olahraga yang bisa dilakuin di semua tempat dan bisa di-mix sama olahraga lain. Bisa dance, agresif, zumba, ngebut-ngebutan, main di mana aja, ini olahraga yang sangat fleksibel banget," kata Tasha sekaligus mengakhiri obrolan.

Kepada detikHOT juga, Skatelovers bercerita lebih lanjut tentang pandangan vandalime yang kerap melekat. Sampai ke agenda besar mereka berangkat berseluncur ke Eropa mewakili Indonesia. Ikuti terus hanya di detikHOT.


Hide Ads