Melanjutkan perjalanan lebih jauh di Selatan Yogyakarta, tiga narasumber berikutnya mencoba memberikan pandangan mereka. Jika sebelumnya menganggap Yogyakarta adalah kawasan yang menjadi episentrum, kali ini sepakat adalah sebuah laboratorium.
Layaknya sains yang bercampur sebagai sebuah eksperimen, akulturasi ragam kesenian pun merasakan hal yang sama di Yogya selatan. Tradisi, musik, busana, tari, makanan bercampur ke dalam tabulasi laboratorium hingga kemudian menghasilkan sesuatu yang baru dan trendi.
Pada kedatangannya ke Yogyakarta, detikHOT bertemu juga dengan Saga. Pemain bas dari grup bernama Krans, yang juga aktif dalam kelompok kolektif bernama Jogja Home Coming. Di usia yang lebih muda dari narasumber lainnya, Saga, bicara dalam kacamatanya sebagai seorang musisi.
"Kalau ngomongin daerah selatan, tuh masih mereka eksperimen banyak hal, laboratorium-nya Yogya tuh di Yogya selatan. Kawasan itu selalu punya keunikannya sendiri. Di band itu, tahun 90an kita pernah denger Yogya utara dan Yogya selatan. Di utara itu ada gengnya Sheila On 7, Jikustik, musik pop-nya industri. Kalau di selatan ada Melancholic Bitch, 666, Southern Beach Terror."
"Tapi, kita udah nggak pernah ngomongin selatan dan utara lagi, berhenti di 2000-an kayaknya, ketika Sheila On 7 jadi band paling kaya di Yogya," sambungnya seraya tertawa.
Soal apakah kemudian Yogya selatan resmi bertransformasi layaknya Jakarta Selatan dengan segala gemerlapnya, Saga belum melihat itu.
"Tapi akhirnya kalau ngomongin Jakarta Selatan, modernisasi kemudian pergerakan yang cepat itu kayaknya Yogya selatan nggak dalam waktu deka.Karena di selatan menurutku masih kontemporer, mereka keseniannya masih sesuka hati. Masih sangat jauh ngomongin Yogya yang akhirnya bisa jadi industry seperti Jakarta Selatan. Tapi bahwa banyak tempat nongkrong yang keren dan sebagainya, ya bisa jadi betul."
Di kancah musik, yang juga menarik diperhatikan oleh Saga adalah perpaduan antara budaya pop dan tradisional yang berasimilasi. Kembali lagi, seperti melihat cairan kimia yang dicampurkan ke dalam tabung kaca.
"Di Yogya itu kesenian tradisi dan pop culture ini kan sebenarnya udah kayak satu ruang lingkup pergerakan sen. Kita ngomongin festival di Yogya pun ya mereka sudah menggabungkan itu. Kita itu nggak selalu ngomongin tentang teater, tari, tapi ada musik juga. Musiknya pun nggak hanya musik pop, bahkan dari noise. Misalnya kayak SumonarFest (festival visual) juga menurutku secara konten merespons hal-hal yang berkaitan dengan tradisi, tapi dibalut dengan hal-hal yang pop culture kayak video mapping. Menurutku ini namanya berjalan beriringan dan berkolaborasi."
(mif/nu2)