Thrifting: Mesin Waktu Membeli Masa Lalu

Thrifting: Mesin Waktu Membeli Masa Lalu

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Jumat, 25 Mar 2022 08:25 WIB
Thrifting
Thrifting Foto: dok pribadi Reiner Mayas
Jakarta -

Berburu barang bekas atau yang dikenal populer dengan istilah thrifting menjadi salah satu tren dalam kehidupan sosial hari ini. Barangnya beragam, ada pajangan/dekorasi, macam-macam perangkat musik dan piringan hitam, koper, mebel dan banyak lainnya. Namun, satu yang paling populer adalah barang fashion.

Barang fashion yang paling banyak masuk ke bursa pasar thrifting adalah topi, t-shirt, jaket dan tas. Sedangkan mereknya, bukan yang banyak terdapat di toko-toko masa kini, sebut saja Stussy, Patta, Supreme, Bape, Carhartt, Champion, Patagonia, Dickies, Naughty by Nature, Sean John dan nama lainnya yang kompak disebut dengan nama streetwear.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jenis lainnya yang tak kalah populer adalah baju musik. Makin tua, nilainya makin tinggi. Terdapat juga segmen olahraga seperti baju basket dan olahraga American Football yang laris manis di pasaran. Tidak terkecuali kategori luxury brand seperti Louis Vuitton, Gucci, Chanel, Balenciaga dan lainnya.

ADVERTISEMENT

Sebelum lebih jauh ke dalam karung-karung baju bekas tersebut, perlu diketahui pengertian thrifting dalam kosakata bahasa Inggris. Berasal dari kata 'thrift' yang artinya penghematan. Kemudian diturunkan kepada tindakan ekonomis untuk mendapatkan sesuatu dengan hemat, walaupun berupa barang bekas.

ThriftingThrifting Foto: dok pribadi Reiner Mayas

Hari ini, setidaknya di Indonesia, thrifting langsung diartikan sebagai kegiatan berburu baju-baju bekas, klasik (vintage) nan langka. Kegiatan yang ternyata, sudah sering dilakukan sejak pertengahan 90-an, kemudian kembali ramai setidaknya tiga tahun terakhir.

Untuk mendapatkan cerita yang bisa mewakili, detikHOT menghubungi salah satu pentolan budaya thrifting. Pria kelahiran 1981, yang berprofesi sebagai pengacara, bernama Reiner Mayas. Melalui sambungan telepon, Om Reiner-sapaan akrabnya-berbicara tentang perburuan ini dari kacamata pribadinya, yang ternyata lebih dari sekadar beli baju. Melainkan mesin waktu untuk membeli masa lalu.

"Kalo ke saya sih lebih ke sesuatu yang sentimentil. Dulu SD, SMP, kita mau beli tapi ya ngerti lah istilahnya nggak mampu, uang jajan kita terbatas juga. Dulu gue pengen punya banget nih yang artikel (desain) ini, tapi nggak kesampaian. Dulu itu misalnya kita lihat di Plaza Indonesia ada toko namanya Yankee Traders. Nah itu mereka carry banyak kaos-kaos basket lama tapi yang gambarnya Michael Jordan-nya karikatur, big head, harganya Rp150.000. Nabungnya harus berapa lama? Jadi yang dulu nggak kesampaian, ya ketemu lagi pas thrifting."

"Kalau dibilang penebusan, ya memang penebusan. Saya sendiri karena saya mengalami era kebangkitan streetwear, jadi pas nemuin lagi itu kaya achievement juga buat saya. Walaupun ada beberapa juga yang, mohon maaf, buat jadi showing off aja gitu. Makanya saya bilang, ada dua aliran, ada orang yang istilahnya kaya pembalasan dendam, dulu kita nggak bisa beli, uang jajan kita terbatas, sekarang kita puas-puasin. Biasanya yang seumuran saya, yang udah 40 tahun ke atas. Ada juga anak generasi sekarang yang udah mengalami tapi melihat thrifting sebagai komoditas bisnis."

Om Reiner memang tidak asal bicara. Koleksi dan sepak terjangnya di dunia thrifting sudah dikenal baik. Bersama dengan para thrift junkie-sebutan penggemar thirfting-yang menyukai merek Stussy, mereka mendirikan Stussy Tribe Indonesia. Menjadi oksigen bagi kelestarian merek asal Amerika Serikat yang berdiri sejak 1980 itu.

Selain itu, apa yang dikatakan oleh Om Reiner diamini oleh sesama penggemar thrifting, Remon Nessa. Tergabung dalam komunitas yang sama, Om Remon juga bagian dalam grup musik hiphop/rap Black Skin dan Sweet Martabak.

Pertama kali kenal itu 1997, namanya belum pakai istilah thrifting. Jadi ceritanya kan grup musik saya tergabung di album kompilasi Musica Studios, Pesta Rap. Di 1996-1997 itu sering ada manggung, ada keterbatasan outfit. Mau beli di toko retail resmi di Indonesia, nggak ada. Kalaupun ada, harganya tinggi sekali dan pilihannya nggak banyak. Nah, entah gimana caranya, ada informasi kalau ternyata ada tempat yang jual barang-barang seperti itu, namanya Pasar Senen."

"Pada saat itu amaze banget ketemu baju-baju yang selama ini saya lihat di majalah. Sean John, Karl Kani, Southpole, Pele Pele, Mecca, brand yang identik sama hiphop dan nggak ada yang jual di Indonesia. Dari situ mulai sedikit banyak cari tahu, ternyata barang-barang ini dapat dari Jepang. Dimulai dari Pasar Senen, Pasar Baru, sampai ke Bandung, Cibadak, Gedebage, sampai tiap ada show di luar kota, selalu mampir ke pasar-pasar yang jual baju bal-balan (kumpulan baju bekas dalam satu karung) itu."

Dari penuturan keduanya, detikHOT mendapatkan keterangan, di awal tahun milenium, kegiatan thrifting ini sempat menjadi tren. Diulas di berbagai media, dibicarakan di tiap tongkrongan.

"Tahun 2000-an awal sempat booming. Beberapa pedagang akhirnya melek brand, seperti FUBU, Tommy Hilfiger itu sudah dipisahin sama mereka dan harganya lebih mahal," jelas Remon.

Bicara harga, tentu ada perubahan signifikan jika dibandingkan dengan awal 2000-an. Jika dulu dengan Rp100.000 bisa mendapatkan tiga barang, saat ini dengan uang Rp150.000-Rp200.000 hanya mendapatkan satu barang saja. Ini adalah harga pasar, akan beda jadinya jika sudah masuk ke dalam katalog toko baju-baju bekas atau thrift shop.

"Dulu kita bawa Rp100.000 mungkin pulang bisa bawa tiga kaos Stussy. Maksudnya harganya itu berbeda jauh. Luxury Brand juga, misalnya Louis Vuitton ya, misalnya ada yang rare mereka nggak terlalu peduli. Karena belum se-booming sekarang. Kalo dulu analoginya kita bawa Rp100.000 ke Pasar Atom atau Senen, mungkin kita masih bisa dapet 3 T-Shirt. Kalau sekarang kan satu kaos Stussy mungkin ya paling murah Rp150.000. Itu paling ukuran S, kalo size-nya XL nggak mungkin mereka lepas dengan harga segitu, kecuali udah gombel (jelek) banget ya," ungkap Reiner.

"Dulu pedagang nentuin harga cuma berdasarkan desain sama sablon. Kalau sablonnya lebih besar, harganya lebih mahal," tambah Remon.

ThriftingThrifting Foto: dok pribadi Reiner Mayas

Keduanya mengakui bahwa kemajuan teknologi juga membawa perubahan besar bagi budaya thrifting. Kemunculan thrifting kosmetik, kurangnya wawasan terhadap satu merek tertentu hingga yang menjadikan ini sebatas komoditas belaka. Walaupun, sebetulnya, tidak ada yang salah dengan itu semua.

"Saya berharap anak-anak baru, anak muda yang sekarang thrifting itu lebih digging lah. Jangan cuman dijadikan komoditas aja. 'Pokoknya bodo lah sejarahnya, yang penting gue bisa jual' gitu. Kalau bisa ada sentimentilnya sedikit, karena sekarang kayaknya kalau saya lihat lebih ke bisnis ya, unsur fun nya udah beda sama yang dulu," ujar Reiner.

"Bahwa thrifting nggak sekadar belanja. Bukan sekadar ambil barang terus bayar ke kasir. Nilainya jauh dari itu dan banyak seninya," Remon menambahkan sekaligus menutup.

detikHOT masih mengulik thrifting dan segala isinya dari mereka berdua. Koleksi pribadi dan polemik yang tumbuh bersamanya. Untuk menyeimbangkan, detikHOT juga menanyakan kepada pemilik thrift shop. Selengkapnya hanya di detikHOT.




(mif/nu2)

Hide Ads