Aktor senior Atalarik Syach bicara terkait polemik bangunan rumahnya yang nyaris tergusur akibat sengketa lahan dengan Dede Tasno. Setelah dinyatakan kalah di pengadilan, sebagian bangunan rumah pribadinya yang berdiri di atas tanah tersebut nyaris dieksekusi.
Namun, konflik ini perlahan menemukan titik terang setelah adik Atalarik Syach, Attila Syach, turun tangan.
Attila diketahui membayar tanah yang di atasnya berdiri sebagian bangunan rumah milik Atalarik tersebut senilai Rp 850 juta. Attila memberikan uang muka sebesar Rp 300 juta dan sisanya akan dilunasi selama 2-3 bulan ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai kelanjutan proses pelunasan, Atalarik menjelaskan saat ini semuanya masih berjalan sesuai rencana.
"Semuanya sebaik-baik mungkin. Ya, itu suatu bentuk inisiatif saja dari adik saya dan adik ipar saya. Bentuk inisiatif selanjutnya ya mereka yang lebih paham," ujar Atalarik Syah saat ditemui di Pengadilan Negeri Cibinong, Senin (2/6/2025).
Ia juga menegaskan pembelian lahan itu sepenuhnya dibiayai oleh Attila Syach, bukan dari kantong pribadinya. Namun, Ia merasa tak mau mengambil hak orang lain.
"Karena saya menolong, saya bersikeras. Saya tuh bukan, gak mungkin seorang artis istilahnya, public figure, dengan mudahnya ngambil lahan orang. Itu gak mungkin," jelasnya.
Bapak dua anak itu, juga berbicara soal tekanan yang dirasakan selama proses hukum berlangsung. Ia merasa terusik dan berharap bisa menjalani kehidupan yang damai.
"Kok saya diobok-obok kayak begini? Gak bisa, gak bisa. Kasihan orang awam, orang kecil di luar sana yang ingin tinggal tenang. Saya ini gak hidup tenang lo di Republik ini," ungkapnya mengeluh.
Mantan suami Tsania Marwa itu menambahkan kasus ini menjadi pelajaran besar baginya. Ia meminta dukungan media untuk memberikan informasi yang adil dan objektif kepada publik.
Terkait kemungkinan adanya gugatan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), kuasa hukum Atalarik, Sofyan, menyatakan hal tersebut masih dikaji. Sebelumnya BPN dinilai pria yang akrab disapa Arik itu tak pernah terlibat dalam proses hukum tingkat pertama tersebut.
"Semua intinya masih dipelajari aja. Jadi kan bahannya baru dapetnya berkas," lanjutnya.
Sengketa lahan ini sudah berlangsung sejak 2015. Atalarik mengklaim telah membeli tanah seluas 7.000 meter persegi itu secara sah pada 2000. Namun, Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan bahwa pembelian tersebut tidak sah menurut hukum.
Meski demikian, penyelesaian secara kekeluargaan melalui pembayaran senilai Rp 850 juta dalam tempo tiga bulan menjadi jalan tengah yang kini ditempuh.
Adapun sidang lanjutan kasus ini dijadwalkan berlangsung secara daring pada 4 Juni 2025. Dalam perkara tersebut Pihak Atalarik menggugat PT Sapta pihak yang menjual tanah yang menjadi sengketa ini.
(fbr/wes)