Akri Patrio punya jalur berbeda dengan Parto dan Eko. Akri justru kini dikenal sebagai pendakwah.
Namun, Akri Patrio merasa dakwah yang dilakukan bukan kelas berat. Dirinya merasa hanya mengajak orang untuk mengaji.
"Saya berangkat dari dunia seni tetap kalaupun tidak dakwah kelas kita bukan kelas inilah. Kelas kita kelas ngajak. Ada orang ngajak ngaji, ada orang ngajak ngaji. Kalau tipe saya lebih kepada ngajak, artinya seru-seruan. Setelah itu baru kita belajar. jadi kalaupun saya ceramah atau apa ya kadang ngalir aja," kata Akri ditemui di kawasan Depok, Jawa Barat, kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalaupun saya ceramah atau apa ya kadang ngalir aja, nggak ada konsep seperti seorang kiai di bab ini 1, 2, 3. Kalau saya nggak, yang penting ketemu ayat sikat, nggak juga yang penting nyampe, simple aja karena saya juga kan bukan berangkat dari ini dikenal sebagai ustaz awalnya. Saya dikenal sebagai temannya Parto dan Eko," tegasnya.
Akri menceritakan keluarganya memang semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Akri menceritakan kehidupannya selama jadi santri.
"Ya, karena di keluarga kami nyantri itu hampir semua ngalamin. Cuma masalahnya dulu kalau bapak tuh gaya hidup nggak pakai kurikulumlah, nggak kayak sekarang. Saya nggak ngalir aja, pengen bener ya lo ngaji. Kalau lu mau begitu lagi ya terserah. Jadi hampir semua keluarga saya ngalamin pesantren. Ada yang setahun, tiga tahun," ceritanya.
"Yang paling bego kata saya gitu yang 12 tahun itu nggak pulang-pulang. Bego dia, tapi kalau yang 2 bulan pulang itu pinter. Ya belum bisa apa-apa dia udah pulang. Yang 12 tahun dia masih pengen pinter terus itu begitu istilah kata," sambungnya.
Akri berseloroh dia menjadi santri hanya sekadar belajar masak. Dia merasa malu bila bicara soal lama waktu jadi santri.
"Ah sekadar belajar masak aja, ngeliwet-ngeliwet. Ya ada nasi tambahin air segini jangan banyak-banyak terus tambahin ikan tembang gitu masukin air tutup. Jadi nasinya enak, ikannya juga enak," ucap Akri soal lamanya jadi santri.
"Kalau bahasa Sundanya ladanya mah ke hulu-hulu, yang pedesnya sampai kepala kepala nih sampai ngebul kepala saya kira-kira begitu (belajarnya). Jadi kalau dibilang berapa tahun (jadi santri) ah malulah karena saya nanti dikata 'wah pantes' gitu," sambungnya.
Santri zaman dulu dan sekarang dinilai Akri memang berbeda. Pondok pesantren sekarang terarah dan berbeda dengan zaman dulu.
"Iya karena zaman dulu kita liar, lihat aja nggak seperti sekaranglah. Pondok-pondok sekarang itu terarah. Kalau zaman saya memang balai rombeng. Biliknya bolong ya biasa. Jadi nggak seperti sekarang yang masyaallah," tuturnya.
"Mau masak mau apa dulu kan nyari kayu. Kadang saya kalau mau masak aja nih, saya nggak pakai kayu nyari yang kering-kering saking susahnya. Saya kayu basah plastik-plastik kumpulin, nah itu buat masak. Belum pernah kan masak pakai plastik? Mateng tapi baunya nggak sanggup," tukas Akri.
(pus/dar)