Kak Seto tidak mendadak menjadi pemerhati anak dengan kebijaksanaan di balik rambutnya berponinya yang khas. Dia juga melewati masa remaja dengan cerita cinta monyetnya, yang sayangnya lebih banyak tak beruntungnya, serta masa kuliah yang menjadikan dirinya aktif di organisasi dan berorasi.
Seto Mulyadi di masa SMA kurang beruntung jika bicara soal percintaan. Alasan finansial menjadi yang utama sebab dirinya yang saat itu bersekolah di Surabaya. Bahkan, untuk memiliki celana panjang saja tidak bisa, sehingga seorang teman harus memberikan untuk dia dan saudara kembarnya, Kresno.
Karena itulah, lagu-lagu patah hati kerap mengiringi hari-hati pria kelahiran 28 Agustus 1951 yang menggemari film-film kung fu sejak kecil tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kak Seto, Si Komo dan Soeharto |
![]() |
"Zaman itu senangnya lagu-lagu Rahmat Kartolo (Patah Hati, Pusara Cinta, Kasih Kembalilah). Kemudian lagu Alfia yang Sebiduk di Sungai Musi. Kalau lagu Barat, The Beatles biasanya. Zaman itu juga lagi senang nyanyai, pernah juga nyanyi di RRI Surabaya," ungkap Kak Seto saat berbincang dengan detikHOT di kediamannya.
Masa kuliah tak jauh berbeda. Kak Seto harus melakoni sejumlah pekerjaan, mulai dari berjualan koran dan masih menjadi asisten rumah tangga, yang membuatnya jarang bisa ikut nongkrong dengan teman-teman. Ditambah, nasib keuangannya juga belum banyak berubah.
"Saya kadang dianggap sombong karena nggak bisa ikut ngumpul, karena kan saya harus kerja. Kegiatan pulang kuliah, saya harus ngurus rumah karena kan saya masih jadi pembantu rumah tangga, setelah itu saya baru izin ke rumah Pak Kasur. Jadi, saya bukan anak gaulnya. Kalau misalnya suka atau jatuh cinta, karena tahu saya cuma naik becak, ya pada mundur," kenangnya lagi sembari tertawa.
![]() |
"Jadi bisa dibilang saya nggak ada masa cinta-cinta. Bahkan saya saja menikah di umur 36 tahun," sambungnya lagi.
Kalau soal cinta monyet masa remajanya yang seperti itu, lain dengan ceritanya sebagai mahasiswa yang ternyata aktif berorganisasi, demonstrasi, orasi sampai pernah diamankan oleh aparat di Kodam Jaya. Bagaimana ceritanya?
"Jadi, dulu saya aktif di Dewan Mahasiswa UI (DMUI), pertama kali waktu mas Dipo Alam (Seskab RI masa pemerintahaan Presiden SBY) sebagai ketua. karena saya aktif di kegiatan sosial, jadi dipilih sebagai Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat. Saya juga mendirikan Kompak UI, yaitu mahasiswa peduli lingkungan dan juga anak-anak. Ketika tahun 1978, saya menjabat Sekretaris Bidang Eksteren. Saat itu, lagi ada demo mahasiswa dan banyak yang ditangkap."
"Karena kekosongan pimpinan, saya didaulat menjadi pejabat ketua DMUI. Periode itu mahasiswa bergejolak, kampus lain banyak yang ajak untuk demonstrasi dan mogok kuliah, tapi saya bilang ke teman-teman untuk tetap tenang. Sampai kita dikirimi pesan oleh ITB yang mengatakan 'UI banci'. Akhirnya kita bikin Rapat Gelap, bukannya mau sok-sokan tapi memang rapatnya gelap karena nggak pakai lampu, kita sedang dipantau oleh intel. Dari rapat itu diputuskan untuk esok hari, UI akan demonstrasi dan mogok kuliah."
![]() |
"Pada tanggal yang ditentukan, saya naik ke atas mimbar di depan Fakultas Ekonomi UI, saya bilang, 'teman-teman mahasiswa, sekarang saya umumkan bahwa Mahasiswa UI mogok kuliah sampai waktu yang tidak ditentukan', ramai bersorak. Pagar betis kita aman, nggak ada intel yang masuk. Eh nggak berapa lama, kami ditangkap juga, saya dibawa ke Kodam Jaya untuk interogasi."
Suasana hari Minggu pagi yang sejak tadi cerah menyenangkan, sontak berubah menjadi lebih serius. detikHOT tidak mengantisipasi bahwa Kak Seto melewati juga fase ini dalam perjalanan hidupnya. Si Komo yang sempat dipanggil Paspampres saja sudah mengejutkan, sekarang demonstrasi dan ditangkap aparat juga.
"Saya sedang diinterogasi, salah satu polisinya bernama Pak Edi. Ternyata dia mengenali saya, 'lho, kamu kan gurunya anak saya'. Rupanya putri beliau itu murida saya di Istana Taman Kanak-kanak di Taman Ria Senayan itu. 'Kamu kan Kak Seto, sudah mending kamu fokus ke anak-anak saja. Kamu bisa berjuang sesuai potensi kamu. Kamu kembali saja'. Setelah itu saya dibebaskan dan diantar pulang ke rumah," cerita Kak Seto sambil menirukan percakapan 44 tahun yang lalu itu.
(mif/nu2)