Kak Seto, Si Komo dan Soeharto

Hot Questions

Kak Seto, Si Komo dan Soeharto

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Kamis, 22 Sep 2022 06:06 WIB
Jakarta -

Seto Mulyadi, atau bergelar lengkap Prof. Dr. H. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si., psikolog akan selamanya menjadi kakak bagi seluruh adik yang juga anak Indonesia. Kariernya telah berjalan menembus periode emas dengan lebih dari 50 tahun menjaga eksistensi.

Menghasilkan berbagai tulisan dan riset, banyak episode program televisi, lagu, film dan tentu saja ragam aduan kasus yang melukai para generasi penerus bangsa.

Menghidupkan dongeng dan boneka khayalannya yang kemudian sempat menjadi teman bagi hampir seluruh anak-anak di Indonesia, Si Komo. "Macet lagi, jalanan macet Gara-gara Si Komo lewat / Pak polisi jadi bingung / Orang-orang ikut bingung," begitu penggalan lirik lagunya yang menghiasi televisi milik Keluarga Cendana, TPI pada medio 90-an.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bicara Keluarga Cendana alias Keluarga Soeharto, menjadi kakak bagi anak-anak Indonesia tidak menghalangi Kak Seto berurusan dengan para elite di zaman itu. Kak Seto dan Si Komo punya hubungan erat dengan Soeharto yang tentu saja saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sampai membuatnya dipanggil untuk dimintai keterangan.

Warna-warni yang kerap menempel pada motif baju yang dikenakannya, rambutnya yang setia berponi meski era gaya rambut terus berganti, juga menjadi perwujudan bagi konsistensinya. Bukan sekadar dalam karya, tapi juga raga.

ADVERTISEMENT
Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

Tapi, ketika punya lebih banyak waktu berbicara dengannya, akan ditemukan cerita-cerita lain dalam hidupnya yang ternyata, tidak semenyenangkan senyum yang selalu tersungging di bawah kacamatanya.

detikHOT membuktikan itu secara langsung. Di suatu hari Minggu pagi yang cerah, bertamu ke rumah Kak Seto, sebagai adik yang mengunjungi kakaknya. Meminta mengulang perjalanan hidupnya, mulai dari kelahirannya di Klaten, kepindahannya ke Surabaya karena jatuhnya ekonomi keluarga sejak orangtua tiada. Dan fase dia merantau ke Jakarta, menggelandang di Blok M hingga menjadi 'orang' saat ini.

"Waktu itu masih di Klaten, ayah saya itu bekerja di perusahaan perkebunan negara di bidang tembakau. Ayah saya diangkat jadi direktur dari perusahaan tersebut. Dan saya sebagai anak kembar selalu dapat tempat istimewa di lingkungan dan keluarga. Masa itu indah dan saya nakal sekali. Saya umur 4 tahun udah lompat sana-sini, manjat pohon, naik ke atas genting itu sudah biasa. Sempet dulu dititipkan sama nenek terus manjat pohon, disuruh turun saya malah ngumpet dan lempari orang pake jambu kecil. Sampai jatuh, kepala bocor dan sempat dijahit, makanya selalu pakai poni untuk menutupi bekas jahitan," Seto Mulyadi membuka cerita sambil menunjukkan bekas jahitan yang masih ada di dahinya.

"Kemudian sejak orangtua wafat, ekonomi jatuh, akhirnya pindah ke Surabaya. Tinggal dengan tante. Masa remaja saya di Surabaya seperti gelandangan, waktu itu sekolah saya di Surabaya termasuk jadi salah satu sekolah katolik terbaik di Indonesia. Bayarnya kira-kira yang lain Rp 800, saya dan kembaran saya bisa dapat di Rp 100 karena kami bilang kami tidak mampu. Masih ingat betul, waktu itu cuma dua orang yang diizinkan pakai celana pendek karena nggak mampu beli celana panjang."

"Tapi, terlepas dari itu, pengalaman-pengalaman itu yang membuat saya ingin anak Indonesia yang aktif itu bukan disebut anak nakal dan segala macem atau dapat kekerasan. Saya juga ingin balas budi karena saya memiliki masa kanak-kanak yang indah," sambung Seto mengungkapkan bagaimana kemudian rasa cinta dan pedulinya pada anak-anak pertama kali muncul.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT



Maju cepat ke beberapa tahun kemudian, tepatnya 1970, Seto Mulyadi merantau dan menggelandang di Jakarta. Kawasan Blok M - Melawai yang ditasbihkan sebagai tempat mejeng paling hits di Jakarta, bagi dirinya tak lebih dari tempat tinggal dan berharap nasib baik datang menghampiri.

Hari-harinya diisi rutinitas tidur di emperan dan mana saja, bekerja serabutan di warung-warung makan dengan mencuci piring sampai berkelahi dengan preman setempat.

"Di suatu sore, di sebuah warung sambil bantu-bantu cuci piring di situ, saya lihat Ibu Kasur di TVRI. Saya pikir, saya juga bisa seperti itu (bercerita dan bermain dengan anak-anak). Saya datangi TVRI, katanya Bu Kasur nggak di sini. Terus dikasih alamat rumahnya di Cikini nomor 2. Saya jalan kaki dari TVRI ke Cikini, saya ketok pintu yang buka suaminya, Pak Kasur. Ketika ditanya, saya bilang, saya mau kerja di sini, nggak usah digaji tidak apa-apa, jadi apa aja saya siap. Pak Kasur bilang nanti sore ke Taman Lembang."

Sejatinya taman, tempat yang punya banyak keindahan, bunga-bunga dan rasa senang, terasa juga pada kehidupan Seto Mulyadi. Di Taman Situ Lembang, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 4 April 1970, jam 16.00 WIB, Kak Seto resmi lahir.

"Ketika sore saya sampai di situ, banyak anak-anak. Kemudian beliau mengenalkan diri saya, 'ibu-ibu, sekarang saya punya asisten calon mahasiswa UI, kita panggil dia Kak Seto'. Ibu-ibu tepuk tangan, saya langsung diminta bantu-bantu. Ketika nama saya disebut, saya ingat ada jam dan tepat jam 4 sore. Seminggu dua kali kumpul di situ, terus berkembang sampai dipercaya dari tahun 70 bulan April sampai Agustus tahun 75," Kak Seto mengenang setiap detail momen tersebut.

Kak Seto berulang kali gagal mendapatkan jurusan kuliah yang diinginkannya, yaitu kedokteran. UNAIR (Surabaya), UGM (Yogyakarta), UNDIP (Semarang), UI (Depok), adalah deretan kampus yang menolaknya. Karena nasehat Keluarga Bu Kasur akhirnya Kak Seto berdamai dan sepakat mengambil jurusan psikologi dan tentu saja diterima. Di periode masa kuliah ini dia diundang oleh satu-satunya stasiun televisi zaman itu, TVRI untuk mengisi program Aneka Ria Taman Kanak-kanak.

"Saat saya kuliah itu, saya masih jadi pembantu rumah tangga. Sampai di rumah ada surat dari TVRI diminta jadi pengasuh Aneka Ria Taman Kanak-kanak yang kemudian populer sama Kak Henny Purwonegoro," ceritanya.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

Di fase hidup Kak Seto ini lah lahir karakter fiksi yang dikenal sampai sekarang, Si Komo. Berangkat dari keresahaannya terhadap karakter dan sosok Si Kancil yang dinilai nakal dan suka mencuri. Ayah dari empat anak kandung itu mengarang Si Komo dari satu-satunya hewan yang berasal dari Indonesia, Komodo.

Karena Si Komo ini juga, Kak Seto diminta Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri pertama Soeharto untuk mengisi program anak-anak di stasiun televisi miliknya, TPI, kala itu. Tidak hanya Mbak Tutut, tapi ternyata membuat Kak Seto dimintai keterangan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) karena selentingan yang menyebutkan Si Komo ditujukan untuk menyindir presiden yang berkuasa saat itu, Soeharto.

Kak SetoKak Seto Foto: Andhika Prasetia/detikHOT

"Saya dipanggil Paspampres, dimintai keterangan, benar nggak menyindir Pak Harto. Saya jawab, 'lho ini yang mempopulerkan TPI, televisinya Mbak Tutut, nggak mungkin dong saya kemudian mengejek bapak presiden yang juga keluarganya Mbak Tutut. Kebetulan saja orang-orang mengaitkan. Anak saya yang pertama ini (Minuk Eka Putri Duta Sari), yang memberi nama Pak Harto. Kami sudah dekat dengan keluarga beliau," sanggah Kak Seto dengan raut wajah yang serius.

Di rumahnya, tepatnya di ruangan tempat dia menerima konsultasi dari para klien, yang sepintas terlihat seperti museum dengan seluruh pajangan prestasi miliknya, Kak Seto berbagi lebih dalam atas cerita-cerita miliknya. Dia tidak lagi terlihat sebagai seorang kakak, tapi kakek yang berdongeng pada cucu-cucunya, tentang bagaimana dia berdemonstrasi di masa kuliah, kisah cintanya dan tujuan akhir dari hidupnya. Selengkapnya hanya di detikHOT.


Hide Ads