Sekitar satu jam dari Jakarta, detikHOT terbang menggunakan Pesawat Cessna menuju Pangandaran, Jawa Barat. Mengunjungi perempuan berusia 27 tahun, anak Menteri KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) RI Periode 2014-2019, yang sekaligus seorang putri dari wanita dengan julukan Ratu Pantai Selatan. Adalah Nadine Pascale Kaiser, anak dari Susi Pudjiastuti.
Sebelum artikel ini ditulis, mungkin tidak banyak cerita tentangnya yang muncul ke publik. Beruntungnya, mungkin karena kelelahan akibat pekerjaan, Nadine Kaiser, secara 'tidak sengaja', mengiyakan tawaran wawancara detikHOT. Jadilah Nadine, membuka dirinya, untuk pertama kalinya, bercerita tentang banyak hal; Susi Air, Pangandaran, ambisi pribadi, masa remajanya, hingga air mata patah hatinya kepada Indonesia.
Di Pangandaran, tepatnya di area tertutup Susi Air, hari-hari dimulai sejak 06.30 pagi. Bermain paddle di salah satu kawasan pantai bersama ibunya, sembari menyelesaikan serangkaian rapat daring dari smartphone. Bisa dibilang ini kegiatan rutin dan acapkali spontan bagi keluarga mereka, termasuk para karyawan. Itu mengapa tidak heran, beberapa karyawan, sejak pagi sudah bersiaga melapisi baju kerjanya dengan baju renang terusan (celana & lengan panjang).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Patah Hati dan Air Mata Nadine Kaiser |
![]() |
Sejak 1,5 tahun terakhir, Nadine menyudahi dulu perantauannya di Tanah Amerika dan Eropa. Dia diminta untuk kembali ke Pangandaran, melanjutkan tongkat estafet Susi Air.
"The main is Susi Air, actually is our only business. Aku mengerjakan apa aja, helping here and there, helping everywhere. Ibu did not give me a title, jadi terjun aja di semua departemen, di tempat di mana ada masalah, I'm there just to solve it. Making decision sampai urusan customer yang mau refund ticket."
"I have Susi Air's social media on my phone, and I always check everybody's request. Salah satu yang aku lihat kemarin, ada pelanggan yang kurang puas dengan pelayanan kami, sampai aku kasih nomor telepon aku and I said if there is anything in the future you let me know. Dari aku it's important to have that real first direct contact to customer," Nadine membuka obrolan lewat cerita kesibukan pekerjaannya.
Segala hal yang berhubungan dengan aviasi sudah mendarah daging di keluarga mereka, termasuk Nadine. Baginya, aviasi bukan lagi sebatas ilmu, tapi tradisi.
"Ya, more like tradition. It's because every day always talking about aviation, when it was family business it's a something there is embedded to our every day. Karena aviasi itu bidang bisnis kami, ya mau nggak mau anak-anaknya juga harus belajar mengenai itu. Semua anaknya diwajibkan untuk dapat license private pilot, at least. Because for her, it's a privilege dan that something we can always hang on to, if something happened to us, if something happened to the business, we still have that knowledge and the skill to find the job to find the living, to be able to continue, so that's why it's in our blood."
Tradisi itu kemudian perlahan mengubur ambisi pribadinya. Sambil tertawa, Nadine bercerita bahwa dia sempat menggantung diplomat sebagai cita-cita yang ingin dikejar.
"So one thing is probably what I wanted to do is work for the UN (United Nations, PBB). That was a big dream of mine. Idealistic diplomacy is the one that I learn in school in a textbook. To be able to have a to-do something there is a value, but what I'm doing now is very close to that, mungkin better than that. Bringing value lewat membantu orang yang membutuhkan. Doing things that are correct, just simply black and white," ungkap Nadine.
![]() |
Jika aviasi punya makna begitu dalamnya untuk Nadine, bagaimana dengan laut dan pantai? Sebagai anak pesisir yang lahir di Kota Banjar dan melewati masa kecil di Pangandaran, apakah perairan hanya sebatas pemandangan?
"The Sea is my medicine. Laut dan pesawat is the dynamic of my life, the evolution of how I grow up. Di Pantai lebih santai, enjoy, fresh air. Di kantor is crisis mode day to day. But, to have one without the other, you cannot really appreciate," jawabnya sembari tersenyum.
Sebagai narasumber yang pertama kali melakukan wawancara mendalam, Nadine terlihat luwes bercerita. Termasuk ketika membahas hubungannya dengan mendiang kakak laki-lakinya, Panji Hilmansyah yang meninggal pada 2016 silam, serta adik laki-lakinya Alvy Xavier yang kini bersekolah di Boston, Amerika Serikat.
"I never consider them as my step brothers. Kita sempat tinggal di Medan 3-4 tahun. My nephew (anak Panji Hilmansyah) lahir di Medan. Ada masanya aku sama adik aku dititipin di one of our family friends di Jakarta. Setiap weekend aku ke Medan untuk ketemu ibu."
"We are like a gipsy family, we do a lot of activities, dan dikarenakan ibu at the time was an entrepreneur working mom, ya kita dibawa ke mana-mana. Jadi kita kalau liburan pake pesawat sendiri yang kecil, ke Kalimantan, seluruh Indonesia. Bahkan waktu aku tinggal di Amerika, adik aku tinggal di Amerika, ibu sedang menjabat atau apa, ketika kita ada liburan it's never a questioned if we're going to see each other or not. Jadi whether we like it or not, harus ketemu di mana pun terserah," sambungnya.
Soal pergaulan, Nadine ternyata tidak termasuk anak muda yang punya banyak teman di Indonesia. Di Pangandaran, dia memiliki beberapa teman masa kecil yang masih saling berhubungan dan pergi bersama. Di Jakarta, dia tidak cukup bergaul, termasuk dengan anak-anak para pejabat negara lainnya, apalagi selebriti.
![]() |
Baca juga: Nadine Kaiser Si Anak Bule yang Di-Bully |
"Nobody invites me to go anywhere. Maybe people are afraid to invite me because they have to ask permission from ibu," celotehnya sembari tertawa.
Sedikit meringankan obrolan, detikHOT menanyakan beberapa tato yang menempel di tubuhnya. Sama seperti anak muda lainnya, beberapa adalah hasil dari tindakan yang impulsif, sisanya punya makna mendalam.
"This one (menunjuk ke jari manisnya) if you don't see it anymore because that really impulsive so I have to laser it. Di belakang telinga, ini hummingbird, bikinnya waktu 17 tahun. It was in the back of Korean BBQ place di Amerika, jadi selesai makan, wah di belakang restoran itu ada tempat tato lho, let's go," ceritanya sambil tertawa.
Di pergelangan tangannya ada tato bertuliskan 'Panji Hilmansyah' yang berasal dari tulisan tangan mendiang kakaknya, dilengkapi gambar pesawat kertas. Sedangkan di belakang siku tangan kanannya, ada tato bertuliskan 'merdeka'.
"Kata 'merdeka' ini karena aku dari kecil tinggal di Pangandaran, di Jalan Merdeka. Ya mungkin bisa artinya freedom, bisa juga untuk menandai aku menjadi WNI."
Melihat begitu terikatnya Nadine dengan Pangandaran, apakah luar negeri dan kehidupan metropolitannya tidak membuatnya lupa dan terbuai?
"Tidak. It is the memories and I'm a very nostalgic person," tutupnya.
Seperti yang tertulis pada paragraf pembuka, bahwa Nadine masih punya banyak cerita. Masa kecilnya sebagai anak 'bule' yang di-bully di Pangandaran, argumentasinya dengan sang ibu hingga patah hatinya. Cerita Nadine Pascale Kaiser, selengkapnya hanya di detikHOT.