Dian Sastrowardoyo berharap publik semakin sadar akan menjaga lingkungan. Dian melihat banyak cara dan peluang untuk mengajak publik untuk lebih perhatian dengan lingkungan hidup.
"Mengenai isu lingkungan hidup ini, saya pelajar baru, baru setahun lalu. Akhirnya saya tergerak setelah melihat dokumenter (soal lingkungan) dan teman-teman saya yang lebih paham. Menurut saya untuk meningkatkan awareness, kita harus pelan-pelan," kata Dian Sastrowardoyo ditemui di Mbloc, Jakarta Selatan, kemarin.
Pelajaran menyoal hal tersebut, menurut Dian Sastrowardoyo bisa dilakukan di mana saja, mulai dari lingkungan keluarga, rumah, dan pergaulan. Dia mengambil contoh dari peran seorang ibu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana seorang ibu melihat kehidupan itu akan selalu diwariskan ke anaknya. Jadi apabila seorang ibu lebih aware tentang lingkungan hidup, maka dia secara langsung membesarkan anak-anak yang jauh lebih peka tentang isu-isu darurat lingkungan ini," ungkapnya.
Dian Sastro berkolaborasi dengan brand Sejauh Mata Memandang membuat film Bara "The Flame". Film ini pu dibuat lagi-lagi untuk lebih peduli dengan lingkungan hidup.
Dian Sastro menjelaskan mengedukasi masyarakat menjadi pilar utama yayasannya untuk memahami pentingnya peduli dengan masalah lingkungan hidup, deforestasi hutan, dan perubahan iklim ekstrem. Itu merupakan masalah serius yang harus dicegah, tapi banyak yang tidak tahu bahaya itu.
"Bara (The Flame) adalah salah satu contoh alat edukasi yang sangat efektif. Saya berharap, semoga diskusi kami di Ideafest 2021 dapat menjelaskan faktor penting dari permasalahan lingkungan dan bisa memberikan contoh tindakan yang baik untuk masa depan hutan di Indonesia," tukasnya.
Ini merupakan film dokumenter tentang kehidupan nyata Iber Djamal. Dia adalah pria berusia 77 tahun, penduduk asli Kalimantan yang sepanjang hidupnya berjuang untuk mendapatkan hak waris hutan adatnya.
Selanjutnya, ada cara lain yang diajarkan Dian Sastrowardoyo untuk peduli dengan lingkungan hidup.
Dian Sastrowardoyo dan pendiri rumah mode Sejauh Mata Memandang, Chitra Subiyakto juga menyorot fast fashion. Di mana industri fashion yang terus bergerak dengan berbagai koleksi baru yang dipasarkan.
Akan tetapi, yang menjadi fokus mereka adalah fast fashion itu berfokus bukan pada kualitas tapi kuantitas. Dari situ muncul soal pekerja yang tidak mendapat upah sesuai dan pemilihan bahan pakaian tidak ramah lingkungan.
"Lima tahun terakhir, research tentang produk ramah lingkungan mulai naik dan pelan-pelan menyadari dampaknya. Mungkin kita bisa pelan-pelan memilih pakaian yang tidak mengandung polyester, karena tidak ramah lingkungan," kata Chitra.
Kesulitan memilih bahan yang ramah lingkungan, kita harus bisa mengurangi limbah fesyen. Itu dengan cara merawat dan memakai pakaian dalam waktu yang lama.
"Kita harus mulai belajar cara merawat pakaian supaya berguna buat kita lebih panjang. Kalau bisa 10 tahun lebih kita masih pakai pakaian yang sama," kata Dian Sastrowardoyo.
"Jadi gimana caranya kalau cuci ada cara yang bikin pakaian itu tidak cepat rusak," sambungnya.
Dian Sastrowardoyo melihat kehidupan zaman dulu di mana tak mudah membuang barang.
"Jadi kayak orang zaman dulu, kalau ada yang rusak ya kita perbaiki lagi. Jangan langsung buang atau beli yang baru. Kita harus tetap coba bisa gunakan. Saya sampai punya beberapa fans, yang mengenali baju olahraga saya yang tetap sama dari tujuh tahun lalu," ucapnya.
"Jadi, nggak apa-apa gitu loh pakai baju yang sama. Kalau masih bagus, masih terpakai, pakai aja gitu nggak usah selalu baru," tukas Dian Sastrowardoyo.
(pus/nu2)