"Pernah, lagi siaran di tengah jalan, gue sama kameramen ditodong, orangnya mabok kayaknya. Dia bawa pistol gue liat, terus ngancem-ngancem. Aduh, kayaknya bakalan mati deh gue waktu itu,” kisahnya.
"Dia terus ngomong sambil ngancam, ‘Bapak harus bilang ya, yang nembak saudara saya itu polisi’," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan bahasa daerah setempat yang memang dikuasainya, Jeremy pun mencoba menenangkan pria yang emosi itu. “Kamu nggak usah marah-marah, saya juga orang sini. Kamu kenal nggak adik saya namanya Fritz pemain bola top di sini?” ia mengenang kembali apa yang diucapkannya kala itu.
Siasat itu ternyata berhasil. Si penodong mengaku mengenal sang pemain pola yang disebutkan Jeremy, lalu minta maaf dan pergi begitu saja. “Dalam kondisi terdesak dan hampir mati sekalipun, seorang reporter di lokasi konflik harus mampu mengatasi masalah,” ia memetik hikmah dari peristiwa masa lalu itu.
Belum usai sampai di situ, tengah malam ketika mereka sedang berada di basecamp, 2 truk yang membawa sekitar 40 orang Brimob datang mengevakuasi seluruh kru SCTV yang berjumlah 10 orang. Sepanjang perjalanan keadaan sangat mencekam karena terdengar suara baku tembak dan rentetan peluru.
"Akhirnya kita nginap di sel penjara Polda setempat, rame-rame. Dua hari nggak mandi. Gila deh itu bener-bener kacau banget," kenangnya lagi.
Masih bayak sekali pengalaman-pengalaman seru yang dialami Jeremy selama menjadi reporter. Termasuk pula ketika harus diterjunkan untuk meliput tragedi Mei 1998.
"Itu Slipi Jaya gue tungguin dari utuh sampai hancur, hingga ke bentrokan di Trisakti. Pokoknya kerusuhan Mei gue alamin sejarahnya kayak apa. Ngelihatin ada yang sekarat, penjarahan, dan lain-lain. Gila banget deh," pungkasnya.
(bar/mmu)