Kemenangan Jon Fosse sebagai peraih Nobel Sastra 2023 menerima pujian dari banyak pihak. Dia menjadi dramawan atau penulis naskah drama pertama yang menerima Hadiah Nobel sejak Harold Pinter pada 2015.
Jon Fosse juga menerima penghargaan sastra bergengsi di dunia sejak Sigrid Undset asal Norwegia di 1928. Kariernya di dunia tulis menulis dipuji karena mempopulerkan bahasa Nynorsk yang hanya dipakai sebanyak 10-15 persen oleh masyarakat Norwegia.
Di balik semua ketenarannya, untuk kesekian kalinya Akademi Swedia (panitia Hadiah Nobel) menerima kritikan habis-habisan mengenai pemilihan pemenang tahun ini. Bagaimana tidak, sejak lama mereka sudah dianggap selalu memilih pemenang Eurosentris (berasal dari negara-negara Eropa) dan ternyata pilihan tahun ini sudah terprediksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akademi Swedia seakan 'meredam' pilihan kontroversialnya. Mereka lebih memilih nama yang 'aman-aman' saja untuk Nobel Sastra tahun ini.
Sehari sebelum pengumuman Nobel Sastra 2023, seorang kritikus sastra asal Swedia Agri Ismail membocorkan pemenang tahun ini. Dalam sebuah wawancara, ia seakan blak-blakan bahwa pemenangnya kemungkinan besar adalah penulis naskah drama dan novelis asal Norwegia. Dari hasil wawancara itu, bukan lagi menjadi bocoran tipis-tipis namun siasat yang blak-blakan.
![]() |
"Itu terlalu jelas bocorannya. Akademi Swedia terlalu sering menentang prediksi bandar judi dan mengkritik para kritikus," tulis laporan yang dimuat dalam the Guardian.
Enam dari sepuluh pemenang Nobel Sastra terakhir memang berasal dari negara Eropa. Selama ini, mereka dianggap terlalu condong kepada penulis dan sastrawan Euronesia dan tidak membuka jalan bagi pengarang dari geografis selain Eropa. Padahal penulis dari Asia selalu masuk ke dalam situs bandar judi dan diberitakan oleh media massa internasional, sebut saja Haruki Murakami asal Jepang, penulis Tiongkok Yu Hua, Can Xue yang aktif dengan gaya realisme Tiongkok modern.
Ada juga spekulasi nama penulis asal Rumania Mircea Cartarescu, Peter Nadas, dan Laszlo Krasznahorkai dari Hungaria, Ismail Kadare dari Albania, penulis asal Kenya Ngugi wa Thiong'o, dan lagi-lagi nama novelis Margaret Atwood asal Kanada. Serta Salman Rushdie penulis Inggris keturunan India yang mata kirinya buta akibat peristiwa penikaman tahun lalu.
Akademi Swedia juga telah lama dikritik karena terlalu banyak memilih penulis laki-laki berkulit putih Barat. Mereka juga memilih yang berasal dari Eropa. Sejak skandal #MeToo pada 2018, mereka melakukan reformasi besar-besaran dan menjanjikan penghargaan sastra yang lebih global dan gender setara.
![]() |
Sejak skandal itu, penghargaan diberikan kepada tiga perempuan. Mereka adalah ikon feminisme asal Prancis Annie Ernaux, penyair asal AS Louise Gluck, dan Olga Tokarczuk asal Polandia. Sertia tiga laki-laki yakni Peter Handke asal Austria (yang juga menuai kontroversi karena mendukung genosida), penulis asal Tanzania Abdulrazak Gurnah, dan kini Jon Fosse.
Meski begitu, Jon Fosse dipuji karena kepiawaiannya menulis dalam bahasa penutur Nynorsk. Dia juga seorang novelis Nordik (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia dan Swedia, dan juga teritori Kepulauan Faroe, Greenland, Svalbard dan Γ land).
Baca juga: 3 Fakta Nobel Sastra |
Seorang penerjemah bahasa Inggris dari buku-buku Jon Fosse, Damion Searls menyebutnya sebagai 'pahlawan nasional'. "Kapan terakhir kali Nobel Sastra dimenangkan oleh bahasa yang penuturnya sedikit?" ucapnya.
Karya-karya Jon Fosse telah sukses diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Drama yang ditulisnya juga secara rutin dipentaskan di Skandinavia, Jerman, dan juga Prancis.
(tia/pus)