Sukses dengan novel perdananya Gentayangan: Pilih Sendiri Petualanganmu (2017), Intan Paramaditha hadir dengan karya terbaru. Novel kedua yang berjudul Malam Seribu Jahanam resmi diluncurkan akhir pekan ini di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat.
Selama ini, Intan Paramaditha dikenal akan karya yang mengangkat topik feminisme dan isu-isu sosial politik dalam balutan sastra gotik.
Lewat kisah-kisah yang ia jalin dalam bentuk dongeng bernuansa horor, Intan mendekonstruksi pandangan dan karakter perempuan Indonesia dalam lingkup keluarga dan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dua Novel Karya Pidi Baiq Segera Dibuat Film |
Intan Paramaditha menuturkan nuansa horor dalam novel Malam Seribu Jahanam lebih subtil dan mampu membangkitkan kecemasan.
"Horor merupakan ketakutan akan ketidaktahuan, dan sering kali kita takut akan hal-hal yang tidak kita ketahui tentang apa yang apa di dalam diri kita sendiri," ujar Intan.
Novel Malam Seribu Jahanam menceritakan tentang 3 perempuan. Pada 1991, Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin.
Ketika salah seorang berkhianat, perempuan yang tersisa terperangkap dan menoleh ke belakang, menelusuri dapur berisi kuali-kuali raksasa dan sumur terlarang di Rumah Victoria (kata orang jalan menuju rumah Nenek tak berujung), berhadapan dengan rahasia dan mimpi-mimpi yang macet di tengah jalan. Saat perjalanan dan kitab suci tidak lagi memberi perlindungan, dara yang lain hadir. Ia tak diundang dan menuntut penjelasan.
Malam Seribu Jahanam dibuka dengan tragedi bom bunuh diri yang melibatkan satu keluarga. Sejak awal, Intan telah mengikat dengan pembaca, bahwa novel ini akan menampilkan isu kekerasan, radikalisme berbasis agama, dan masalah keluarga khas Indonesia.
Novel kedua karya akademisi ini masih mengolah kisah-kisah Islami dan mitos nusantara. Karya ini juga merupakan dongeng gelap tentang sesal, malu, dan hantu-sebuah renungan tentang praktik beragama, retakan dan reruntuhan kelas menengah, serta rapuhnya persaudaraan.
Novel pertamanya, Gentayangan: Pilih Sendiri Petualanganmu (2017), terpilih sebagai karya sastra prosa terbaik Majalah Tempo, dan terjemahannya, The Wandering (2020), meraih PEN Translates Award dari English PEN dan PEN/Heim Translation Fund Grant dari PEN America, serta masuk ke dalam daftar panjang penghargaan The Stella Prize di Australia.
(ass/ass)