"Kalau sebuah publisher (penerbit) merasa punya konten bukuyang bagus, dan ingin produk-produk mereka juga diterbitkan di luar negeri, ya memang penting untuk sering-sering mengikuti pameran internasional," ujar Yuliani Lupito dari Departemen Copyright Penerbit Mizan, di sela-sela Bologna Children's Book Fair 2017 di Bologna, Italia.
"Sebab, dari segi konten, Indonesia punya potensi untuk bersaing kok. Kekuatan buku anak kita terutama pada picture book muslim dan folktale (cerita rakyat)," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di 2015 kami berhasi menjual (hak cipta) satu set buku (25 judul) serial 'Halo Balita' ke Turki. Angkanya lumayan, lima digit dolar hanya untuk DP (panjar). Tahun lalu picture book kami dibeli oleh penerbit Singapura," tutur Yuliani.
Menurut dia, pendapatan hak cipta dari penerbit asing memang tidak signifikan jika dibandingkan dengan penjualan di dalam negeri. Namun, ada tujuan lain yang tidak sekadar profit yang perlu dikejar publisher.
"Sangatlah penting untuk citra dan reputasi sebagai sebuah publisher yang kompeten. Dan tentu saja, jika literatur kita sampai diterjemahkan ke bahasa asing di luar negeri, itu hal yang membanggakan," ujar Yuliani.
Hanya saja, berpartisipasi langsung di pameran buku internasional sepertinya belum menjadi program promosi penerbit-penerbit di Indonesia. Jika mengikutinya mereka masih "nebeng" dengan negara, yang dikoordinatori Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan -- atau sebelumnya kolektif bersama Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
![]() |
Di Bologna Children's Book Fair 2017, sebagian besar peserta adalah penerbit, agen, dan studio kreatif, yang mengatasnamakan perusahaan masing-masing. Jumlahnya 1.300 dari 75 negara.
"Kita itu baru mulai konsisten mengikuti pameran-pameran buku internasional besar sejak jadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Sebenarnya ya telat, karena Malaysia saja sudah sangat lama jadi langganan peserta," ungkap ketua KBN, Laura Prinsloo.
"Dari situlah kita bisa masuk juga ke London dan Bologna. Pemerintah tentu punya keterbatasan anggaran, karena untuk mengikuti pameran sekaliber ini biayanya tidak kecil. Tapi kalau mau dilirik pasar internasional, ya publisher-publisher kita harus konsisten mempromosikan diri."
![]() |
Diakui Yuliani, sebagian penerbit tidak cukup serius menjadikan pameran internasional sebagai program marketing-nya.
"Karena penjualan di pasar lokal tetap yang paling besar, sedangkan royalti dari asing mungkin tidak terlalu signifikan dan butuh kesabaran juga. Sebab, proses deal-nya tidak sekali lagi, butuh waktu, dan ya itu tadi, hasilnya mungkin tidak terlalu signifikan," tutur dia.
Atase Pendidikan dan Budaya KBRI di Paris, Prancis, Prof. Dr. Surya Rosa Putra, MS., mengkritik sikap penerbit-penerbit yang terkesan "acuh tapi butuh". Padahal, jika ingin produk-produknya go international, mereka harus lebih serius dalam membangun jaringan.
"International Book Fair ini mestinya jualannya publisher. Lebih bagus lagi mereka menghadirkan penulis atau ilustratornya, karena itu yang dilakukan penerbit dari negara-negara lain. Tapi kita belum konsisten, cuma kadang-kadang saja ada penulis atau ilustator yang datang," ujarnya.
Menurut informasi Laura, pada gelaran Bologna Children's Book Fair 2018, pihak penyelenggara akan memberi kesempatan kepada ilustrator Indonesia untuk menampilkan karyanya di "barisan depan", yakni Illustrator Cafe.
![]() |
![]() |
"Ini kesempatan yang sangat berharga karena tidak semua bisa dengan mudah mendapatkannya. Kami yakin, ini berkat Indonesia yang mulai konsisten mengikuti pameran ini dan mereka memiliki kesan-kesan positif tersendiri tentang kita. Semestinya ini dapat dimanfaatkan oleh publisher dan illustrator kita ke depannya," imbuhnya.
Bologna Children's Book Fair, yang merupakan pameran buku anak-anak terbesar di dunia, digelar sejak Senin (3/4) lalu dan akan berakhir pada hari Kamis besok.
(a2s/doc)