Nama Patrick Ness melambung ketika karyanya 'A Monster Call' (2011), sebuah novel fantasi untuk anak-anak yang dilengkapi dengan ilustrasi, diangkat ke layar lebar tahun lalu, dibintangi oleh Felicity Jones dan Lewis MacDougall. Ia penulis berdarah Amerika-Inggris kelahiran 1971 yang pindah dan menetap di London sejak usia 28 tahun, setelah lulus dari pendidikannya di University of Southern California. Karya-karya Ness dinilai memiliki keunikan karena menggabungkan antara dunia nyata dan fantasi.
'A Monster Call' misalnya, berkisah tentang seorang bocah laki-laki yang harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya mengidap penyakit kanker. Setiap malam, ia didatangi oleh monster yang mendongengkan sebuah kisah. Meskipun menampilkan sosok monster, novel ini berlatar di Inggris pada masa kini. Dalam karya terbarunya yang terbit pada 2015, berjudul 'The Rest of Us Just Live Here', Ness masih setia dengan formulanya, meramu fantasi dan dunia nyata dalam kisah yang penuh misteri. Bedanya, kali ini, ia berkisah tentang para remaja di sebuah kota kecil di Amerika, menjelang kelulusan SMU mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gaya menulis Ness dalam novel ini barangkali sulit untuk disukai banyak orang. Ia tidak merangkai kalimat dalam kata-kata yang mudah, melainkan hampir setiap ungkapan ia sampaikan dengan cara yang lain. Untuk menggambarkan sesuatu, ia tak menggunakan deskripsi yang langsung bisa terbayang, atau dipahami, melainkan dengan cara yang selalu berusaha untuk tak biasa. Kalimat-kalimatnya hampir selalu satir, membungkus humor yang menjiwai plot yang tak pernah diungkapkan terang-terangan. Setiap bagian selalu mengandung misteri, yang terus disimpan sampai akhir. Tapi, pada akhirnya, misteri itu juga tak lantas dibuka secara gamblang.
Pada setiap bab diberikan semacam ringkasan, tapi selalu membingungkan karena apa yang diuraikan di dalamnya, termasuk nama-nama tokoh yang disebut, ternyata sama sekali tak diceritakan di dalam isi babnya. Nama-nama seperti Satchel, Finn dan Kerouac terus saja disebut-sebut di hampir setiap ringkasan bab —mereka selalu disebut sebagai "anak-anak indie", tapi tak pernah muncul dalam cerita. Tokoh yang sebenarnya diceritakan adalah Mikey, kakaknya Mel, adiknya Meredith dan teman dekatnya Jaret serta gadis yang ditaksirnya, Henna. Satu lagi, seorang murid baru yang penuh teka-teki, yang bergabung ke dalam 'genk' mereka.
Jadi, inilah cara membaca buku ini. Anggaplah ada dua cerita yang berjalan beriringan, atau cerita dalam cerita. Yang satu diuraikan lewat ringkasan pada setiap bab, menjadi semacam "cerita mini", dan lainnya dikisahkan dalam bab demi bab, yang merupakan cerita yang "sesungguhnya". Terdengar makin membingungkan? Belum. Pembaca masih akan terus dibayang-bayangi dengan teka-teki tentang cahaya biru di langit, para abadi, hantu pemakan jiwa, yang sampai titik tertentu mungkin akan cukup menjengkelkan, dan bukan tidak mungkin akan membuat pembaca melempar buku ini ke sudut ruang karena putus asa. Tapi, membaca pun butuh ketabahan, bukan? Berbahagialah orang-orang yang sedikit bersabar.
Pembaca baru bisa merasakan kelucuan, juga keunikan dan kebrilianan buku ini setelah benar-benar selesai membacanya. Jadi, sekali lagi, bersabarlah. Baca pelan-pelan sampai akhir. Kalau perlu, baca sekali lagi.
Apakah ini parodi —parodi dari semua tren fiksi tahun-tahun belakangan, tentang kiamat, "hunger games", kisah asmara vampire dan manusia, remaja penderita kanker, orang-orang terpilih, penyelamat dunia? Bisa jadi. Tapi, yang jelas ini "hanya" kisah anak-anak sekolah yang akan menghadapi hari kelulusan, mencari baju untuk acara prom, dan dibuat marah oleh sikap seorang murid baru. Buku ini menjadi 'aneh' justru karena kembali ke dunia sehari-hari yang biasa, tentang anak-anak biasa, namun diceritakan dengan cara yang penuh teka-teki dan misteri. Ness boleh dibilang menulis dengan cara yang baru, dan pembaca tak akan pernah tahu akan dibawa ke mana.
Kota kecil, tampa zombie dan tukang sihir. Yang ada, sang tokoh bersama teman-temannya menyetir mobil lalu mendapat 'serangan' rusa-rusa yang menyeberang jalan, dan mengakibatkan mereka celaka, patah tulang dan sebagainya. Mobil ringsek, HP hilang entah ke mana, dan pada hari lain, sang tokoh kembali ke mobil yang masih ada di TKP untuk mencari HP-nya dan mendapati salah seekor rusa ternyata masih ada di sana, sekarat dan bangkit. Oh, jadi ada zombie. Zombie rusa. Atau, rusa zombie? Mereka menjalani hari-hari akhir masa sekolah, menonton konser musik, dan di sela-sela itu mendapat kabar tentang kematian satu per satu anak-anak indie. Tapi, siapa mereka? Mengapa mereka mati? Mereka teman-teman satu sekolah juga, tapi punya dunia dan pergaulan yang berbeda.
Inilah dunia "nyata" ala Ness; dunia yang digambarkan oleh Jared (berdarah Yahudi dan keturunan dewa) ketika ngobrol dengan Mikey: di dunia nyata, tentu saja, tak seorang pun merupakan 'manusia terpilih'. Sebagian besar hanya harus menjalani kehidupan mereka dan melakukan yang terbaik yang mereka bisa, melakukan hal-hal yang penting bagi mereka, punya teman-teman yang asik, berusaha membuat hidup mereka lebih baik, mencintai orang lain selayaknya. Pada saat yang sama mereka juga menyadari bahwa dunia ini tak masuk akal tapi tetap saja berusaha mencari cara untuk bahagia.
Setelah membaca buku ini, pembaca akan diyakinkan bahwa dunia baik-baik saja, dan dirimu, siapapun kamu, bukan orang yang terpilih untuk menyelamatkannya dari ancaman apapun. Biarlah urusan menyelamatkan dunia menjadi agenda para peserta kontes kecantikan saja.
(mmu/mmu)