Para budayawan Tanah Air turut bersuara di masa kampanye. Mereka mempertanyakan posisi kebudayaan di mata para capres dan cawapres yang mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Dalam sebuah acara diskusi kebudayaan yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, sejumlah budayawan dan seniman berkumpul. Mereka adalah Romo Mudji Sutrisno, Mohammad Nasir, Butet Kartaradjasa, Jose Rizal Manua, Isti Nugroho, Miing Deddy Gumelar, Haris Jauhari, Dimas Supriyanto, dan Herman Wijaya.
Bre Redana hingga Arahmaiani yang menjadi narasumber turut memberikan sentilannya. Arahmaiani yang pernah dipenjara di masa Orde Baru karena karya seni yang diciptakannya mengkritik para penguasa tidak peduli dengan peradaban bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Budayawan tak perlu mengandalkan penguasa dalam membangun peradaban bangsa," katanya.
Sama halnya dengan Bre Redara. Budayawan yang juga malang melintang puluhan tahun menjadi jurnalis itu mengatakan kekuasaan bakal muncul atau jatuh, ditentukan oleh mandat langit. Bukan dari survei-survei yang digaungkan belakangan ini.
"Kalau mandat langit sudah hengkang dari dirinya, ia akan serba salah. Mau ke luar negeri salah, mau tetap di dalam, ya salah juga," katanya.
Diskusi bertajuk Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini dan Masa Depan itu dipandu oleh Amien Kamil, dengan panelis Arahmaiani, Bre Redana, dan Taufik Rahzen.
Budayawan Muhammad Nasir pun menyatakan arah peradaban yang dibangun menjauh dari cita-cita saat bangsa ini dibentuk.
"Bagaimanq kita mau membangun peradaban, membangun budaya, sementara di mana-mana kita lihat kebudayaan lokal terus digerus. Bahkan dalam debat pun, pertanyaan yang diajukan adalah kapan ekonomi syariah bisa dirasakan di semua sektor," tukasnya.
(tia/pus)