Ratusan koleksi seni milik kelompok Pita Maha asal Bali masuk ke dalam dokumen pengembalian benda bersejarah dari pemerintah Belanda ke Indonesia. Rencananya, koleksi-koleksi tersebut bakal tiba di Tanah Air.
"Besok, akan sampai ke Jakarta," ucap Anggota Tim Repatriasi, Bonnie Triyana di sela-sela pembukaan pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara di Galeri Nasional Indonesia pada Senin (27/11/2023).
Nantinya, ratusan koleksi Pita Maha yang sebagian besar adalah lukisan bakal disimpan di dalam gudang milik Museum Nasional Indonesia. Meski sedang tahap inventarisasi dan pembenahan gedung imbas peristiwa kebakaran kemarin, namun Bonnie memastikan koleksinya bakal aman-aman saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada gudang lainnya di Museum Nasional Indonesia, yang kondisinya dipastikan aman dan terkendali," katanya.
Karya-karya dari kelompok seni Pita Maha adalah salah satu dari 8 rekomendasi yang diminta tim Repatriasi Indonesia kepada Belanda. Ada 132 objects dari total keseluruhan 472 benda bersejarah yang masuk ke dalam daftar repatriasi.
Ke-132 koleksi Pita Maha itu sudah dilakukan provenance research atau penelitian asal-usul yang dilakukan oleh para pakar dari pemerintah Belanda dan Indonesia. Seperti diketahui dalam benda bersejarah yang diminta, koleksi Pita Maha bukanlah benda rampasan perang namun ditinggalkan pada 27 Desember 1949.
"Memang koleksi Pita Maha ini statusnya berbeda ya, karena bukan rampasan perang. Tapi benda yang ditinggalkan saat tengah menggelar pameran, yang statusnya waktu itu belum milik Indonesia," terang Bonnie.
Di pertengahan 1946 seperti diketahui, koleksi Pita Maha sempat dipamerkan di berbagai negara di Eropa. Tapi ketika terjadi perubahan politik di Indonesia setelah pengakuan kedaulatan 1949, karyanya ditinggalkan.
"Karena kenapa? Kami juga masih belum tahu alasan ditinggalkan saat itu," katanya lagi.
Kelompok seni Pita Maha didirikan oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet di Bali, bersama dengan Tjokorda Gde Agung Sukawati dan I Gusti Nyoman Lempad. Spies tiba di Bali pada 1926 dan Bonnet di 1928. Keduanya bergaul dengan seniman lokal dan kepincut dengan berbagai ragam seni lukis di Bali.
Perkumpulan ini menimbulkan gaya dan gerakan seni lukis Bali yang berbeda. Gerakan ini bermula di desa Ubud, dan kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bali.
Sepanjang 6 tahun, anggota Pita Maha mencapai 150 pelukis, pengukir, dan pematung. Dari situ, lahirkan tiga gerakan seni Pita Maha yakni gaya Ubud, gaya Batuan, dan gaya Sanur.
Kehadiran Pita Maha juga kerap mendapat kecaman. Dalam laman IVAA, disebutkan dalam Surat Kabar Preanger Bode pada 22 November 1938, ada pandangan yang menyebutkan lukisan dan patung karya anggota Pita Maha bukanlah karya seni, tapi dari toko jalanan.
Saat pameran di Bandoengsche Kunstkring, seorang pedagang mengecam karya-karya yang dipamerkan dengan dalil tidak bermutu.
(tia/pus)