Aku hilang, Yos. Sejenak. Mungkin memang sudah seharusnya begitu. Aku pergi ke minimarket karena pasta gigi sudah habis. Juga karena terus berada di dekatmu rasanya begitu menyesakkan.
Kutempelkan catatan yang baru saja kutulis di pintu kulkas. Mungkin kau akan menganggapnya berlebihan dan menyebalkan. Namun tak apa. Setelah tahun keenam pernikahan, kau harusnya tahu kalau aku memang suka bicara dalam kalimat-kalimat panjang yang memusingkan kepala.
Ibu bilang waktu kecil aku anak yang pendiam, lalu segalanya berubah sejak Ayah pergi dari rumah. Menurut kesaksian Ibu, sejak hari itu aku jadi sangat gemar berbicara sampai-sampai Ibu sering berteriak menyuruhku diam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aku tak pernah bilang pada Ibu bahwa rumah jadi begitu sunyi sejak Ayah pergi. Jadi kuisi seluruh rumah itu dengan kata-kata, sampai jejak yang Ayah tinggalkan tak bersisa lagi.
***
Ini malam bulan purnama dan berjalan menyusuri trotoar menuju minimarket ternyata cukup menyenangkan. Udara malam mampu melegakan dadaku yang terasa sesak seharian ini. Sekali-kali aku berpapasan dengan manusia-manusia lain.
Terkadang yang berpapasan denganku adalah seorang ibu dan anaknya. Terkadang pula ia remaja penyendiri berjaket tudung yang asyik menatap layar gawainya sembari berjalan...atau seorang pria tua dengan tatapan mata yang memancarkan kesepian.
Bicara tentang kesepian, ingatkah ketika kau tak menungguku di tempat yang seharusnya? Saat itu kita pergi ke mall dan aku meninggalkanmu sejenak ke toilet. Tetaplah di sini, di toko sepatu ini, kataku. Jangan ke mana-mana.
Tapi kau tak ada di sana saat aku kembali, sedangkan ponselmu tak bisa kuhubungi. Aku memutari toko sepatu itu tiga kali untuk mencarimu sebelum akhirnya kuputuskan mencari ke tempat lain. Baru saja aku akan minta bantuan ke pusat informasi saat kulihat kau sedang duduk di depan sebuah air mancur kecil. Dengan tenang melahap es krim yang kaubeli untuk dirimu sendiri.
Aku merasa sangat kesepian saat itu, Yos. Lagi-lagi kau melakukannya. Kau menghilang begitu saja saat kita berada dalam keramaian. Kau tak ada di tempat kau seharusnya menunggu. Kau juga sering kali membuatku menunggu dan terlambat menjemputku.
Mungkin seumur hidupmu kau merasa kesepian. Namun entah untuk alasan apa kau pun turut membiarkanku kesepian.
***
Minimarket cukup lengang saat aku sampai. Hanya ada pegawai yang sedang menghitung barang belanjaan seorang perempuan di meja kasir.
Aku sempat mengamati benda-benda yang dibeli perempuan itu. Ada dua kemasan besar popok dewasa, sekitar lima pak tisu basah, dan satu botol sabun cair. Melihat itu, aku jadi bertanya-tanya. Apa ia memiliki orangtua atau anggota keluarga yang sedang sakit?
Lalu aku kembali teringat pada pasta gigi baru yang harus kubeli.
Aku pun bergegas menuju bagian rak yang memajang produk kebersihan tubuh. Sesampainya di sana, mataku perlahan menyisir bermacam-macam pasta gigi yang tersusun di rak.
Kau tahu, Yos? Entah mengapa aku baru sadar kalau ada terlalu banyak jenis pasta gigi: pasta gigi yang memutihkan, pasta gigi yang akan mencegah gigimu berlubang, pasta gigi dengan butiran kecil yang mampu menyelip di antara sela gigimu (dan akan membersihkannya), pasta gigi yang akan menyehatkan gusi, pasta gigi yang terbuat dari kayu siwak, dan entah berapa banyak lagi.
Setelah kuhitung dan amati, totalnya ada enam belas jenis dari berbagai merek yang berbeda. Sayang sekali! Mengapa tak ada sembilan puluh jenis pasta gigi di minimarket ini? Aku bersedia menghabiskan waktuku untuk meneliti semua jenis pasta gigi itu.
Namun, aku tak kehabisan akal. Saat pegawai minimarket tak melihat, kukibaskan sebelah tanganku dengan perlahan tapi pasti hingga sekian banyak kemasan pasta gigi yang ada di rak itu berjatuhan ke lantai. Bunyi keras beruntun yang ditimbulkannya cukup mengagetkan. Pegawai minimarket tadi pun mendelik, lalu mendatangiku.
"Aduh! Tak sengaja tersenggol. Tenang, akan kubereskan. Oke?"
Si pegawai mengangguk. Aku tersenyum dan mulai memunguti satu demi satu kemasan pasta gigi dari lantai dan menyusunnya kembali di rak. Pasta gigi yang memutihkan di sebelah sana. Pasta gigi untuk mencegah gigi berlubang di sebelah sini. Yang ini di sana. Dan yang ini di sini.
Senyumku semakin lebar saat kusadari akan semakin banyak waktu yang kubutuhkan untuk menyusun semua pasta gigi itu, karena semuanya harus disusun berdasarkan jenis...dan juga mereknya.
Hatiku bersorak.
***
Kalau aku memanggil, Yos, jawablah. Supaya aku tahu kalau tak ada hal buruk yang terjadi padamu. Kau ingat berita tentang lelaki tua yang dirampok itu? Yang terjadi tak jauh dari tempat tinggal kita. Di tengah malam, lelaki tua itu berkata pada istrinya kalau ia ingin mengambil ponsel yang tertinggal di dalam mobil.
Mobil itu diparkir di halaman rumah mereka yang tak berpagar. Namun setelahnya ia tak kunjung kembali. Istrinya terus memanggil dari dalam rumah, tapi suaminya tidak juga menjawab. Saat itulah perempuan itu sadar ada yang salah. Sebab dalam tiga puluh tahun pernikahan mereka, sang suami selalu menjawab panggilannya. Selalu, Yos.
Kau tentu tahu akhir ceritanya. Ia akhirnya menemukan suaminya dengan sebilah pisau tertancap di perut, terkapar di bawah pintu mobil yang terbuka. Ponsel hadiah ulang tahun dari anaknya yang cukup mahal itu pun telah raib. Syukurlah berkat kecurigaan istrinya yang cepat, lelaki tua itu masih dapat diselamatkan.
Aku sendiri selalu berusaha menjawab kalau kau memanggil. Aku akan menjawabmu sekeras dan sejelas mungkin, tapi tidak pula terlalu keras supaya kau tak menyangka aku marah padamu. Itu kulakukan supaya kau tahu jika terjadi sesuatu yang buruk padaku.
Kalau-kalau ada yang menusuk perutku hingga lambungku robek dan aku tak bisa menjawab panggilanmu.
***
Aku terus mengerjakan "tanggung jawabku" dengan riang. Tapi jam dinding yang digantung di atas meja kasir terus berdetak. Tak-tuk, tak-tuk. Seiring detak jam dinding itu, jantungku terasa semakin meleleh. Waktu terus saja berjalan maju tanpa dapat kukendalikan.
Aku pun sampai pada kemasan pasta gigi terakhir yang harus kuletakkan: pasta gigi untuk gigi sensitif....
Lalu tangisku pun pecah. Pecah sejadi-jadinya. Pegawai minimarket mendekatiku lagi. Bagaimana aku harus bilang padanya kalau aku tak mau pulang?
Aku tak mau pulang karena yang ada hanya sepi. Kesunyian familier yang memuakkan seperti saat Ayah pergi dari rumah.
***
Ketika kita pertama kali bertemu, aku sama sekali tak tahu tentang hidupmu. Tak tahu tentang ibumu yang meninggalkanmu saat kau baru saja mulai menjamahi kasih sayangnya. Tiga setengah tahun...duhai, apa yang kauingat tentang ibumu? Pantaslah kau selalu menggeleng setiap kali kutanya apa kau merindukan dia.
Kau bukan tak merindukan ibumu. Kau hanya tak tahu apa itu cinta dan rindu. Ibumu pergi terlalu cepat dari dunia sebelum sempat mengajarimu tentangnya. Aku sering melihat kesepian melingkupi dirimu, serta ketakutan yang tersembunyi di sudut batinmu.
Kau membungkus semua itu dalam diam dan kesunyian. Kau menyimpan semuanya sendiri, tak mau membaginya denganku. Aku tak mau menambah beban pikiranmu, katamu suatu hari. Tapi aku ingin dibebani olehmu. Bebani aku. Dengan demikian aku merasa bagian dari dirimu.
Aku juga selalu ingin melindungimu, melingkupimu dengan sayapku. Aku tak pernah tahu bahwa sayapku sendiri pernuh lubang dan aku pun butuh seseorang untuk mengobati lukaku. Kukira aku pahlawanmu, tapi sesungguhnya aku juga sedang mencari rumah untuk diriku sendiri.
Rumah yang kukira ada di dalam dirimu.
***
Saat aku sampai di rumah, air mataku telah habis terhapus. Selain pasta gigi, aku jadi harus membeli tisu wajah pula untuk menghapusnya. Di atas meja, kulihat kau telah menyajikan segelas teh untukku.
Catatan yang kubuat sudah tak ada di pintu kulkas. Aku tahu kau telah menaruhnya pada sebuah keranjang plastik, berkumpul bersama teman-temannya: catatan-catatan lain yang kutinggalkan untukmu.
Aku duduk di hadapan segelas teh buatanmu. Kantong plastik berisi barang belanjaan kuletakkan di sampingnya. Dari arah kamar mandi terdengar guyuran air bertubi-tubi. Kau akhirnya memutuskan mandi juga setelah seharian menghabiskan waktumu di ruang kerja.
Kuminum teh buatanmu yang tak lagi hangat. Sehabis ini kita akan makan malam bersama, seperti biasanya. Dan aku pun harus kembali membiasakan diri dengan kesunyian yang memuakkan itu lagi.
Aku mengeluarkan pasta gigi yang baru saja kubeli dari dalam kantong. Akhirnya kupilih jenis yang dapat menguatkan gigi agar tak mudah berlubang. Kutatap kemasan pasta gigi itu dengan putus asa, berharap andai saja benda itu juga bisa menguatkanku, dan mencegah niatku meninggalkanmu.
(Untuk Bapak, yang setia menungguku menulis lagi)
Varla R. Dhewiyanty memutuskan fokus menulis kreatif sejak 2015. Cerpen terbarunya 'Timi Mengenakan Senyum' terhimpun dalam Antologi Pemenang Sayembara Cerita Kesehatan Mental 'Nuraga' (Penerbit Sekala Kecil, 2023)
(mmu/mmu)