Dulu sekali, sebelum hidup menjadi tidak keruan seperti sekarang, sahabatku Mboms pernah bilang kepadaku bahwa ia bercita-cita menjadi tukang sulap. Ia mengatakan itu sewaktu kami masih duduk di kelas lima sekolah dasar, dalam perjalanan ke sekolah. Kutanya mengapa, ia bercerita bahwa tadi malam ia dan keluarganya menonton seorang lelaki botak di televisi sedang beraksi, mengeluarkan kelinci dari dalam sebuah topi dan membuat manusia di dalam kotak menghilang.
Aku cuma mengangguk. Oke. Belakangan hari kami tahu bahwa lelaki botak itu bernama Dedi Corbuzier. Tapi Mboms segera kehilangan minat setelah mengetahui dari Youtube bahwa sulap tak lebih dari seni menipu mata belaka. Sulap bukanlah misteri seperti dipikirkannya selama ini, yang mampu menghasilkan sesuatu dari ketiadaan. Semua ada triknya.
Lain waktu ia bilang bahwa ia menemukan cita-cita baru; kepingin jadi sastrawan. Waktu itu kami sudah sama-sama duduk di bangku kuliah. Mboms mengirimkan ceritanya ke sebuah koran, tapi ditolak. Tak hanya ditolak, redaktur itu menyisipkan catatan, memberi kritikan kejam tanpa ampun. Katanya cerita Mboms begitu rapuh, plotnya tidak jelas, dan membuang-buang kata di deskripsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sahabatku Mboms naik pitam, menyebut si redaktur sebagai tolol dan berselera rendahan. Ia menyerahkan ceritanya kepadaku, minta pendapatku. Kubilang aku tidak tahu apa-apa soal sastra. Mboms geleng-geleng, tidak mau tahu, pokoknya aku harus baca. Karena merasa tidak enakan kubawa saja salinan cerita itu ke rumah dan membacanya.
Cerita yang ditulis oleh Mboms berkisah tentang seekor Pudalle' yang dikutuk menjadi manusia. Si Pudalle' mendapatkan kutukannya setelah suatu hari meloncati jendela rumah seorang lelaki tua dan mencuri lauk makan siangnya. Lelaki tua itu tinggal sendiri, hidup melarat, menderita ambeien, dan terbatuk-batuk setiap malam.
Di semesta Pudalle', mereka punya aturan main dan filsafat kehidupan yang sama sekali berbeda dengan dunia manusia. Bagi bangsa Pudalle', mencuri dari orang miskin, apalagi sudah tua begitu dosanya dua kali lipat daripada menyekutukan Tuhan Pudalle'. Karenanya, Tuhannya Pudalle' menghukum makhluk nakal itu untuk menjadi seorang manusia dan diwajibkan melakukan kebajikan-kebajikan tertentu sebelum usia tiga puluh tahun.
Lewat keajaiban sejenis sihir, si Pudalle' berubah menjadi seorang anak lelaki. Ia lalu menjalani hidup layaknya manusia biasa. Ia makan, tidur, memiliki ayah dan ibu, pergi sekolah dengan temannya, dan juga punya cita-cita.
Tak terasa waktu melesat secepat peluru, pelan tapi pasti anak ini tumbuh menjadi lelaki dewasa dan mulai melupakan jati dirinya. Menjelang usia tiga puluh, masa seharusnya ia bersiap-siap kembali ke asalnya sebagai Pudalle', lelaki itu malah jatuh cinta kepada seorang wanita dan menikah.
Tuhan Pudalle lalu mengutus malaikat Pudalle' untuk membawa lelaki itu kembali tapi mendapat penolakan. Lelaki itu sudah kerasan tinggal di dunia manusia sehingga mengusir utusan tersebut. Karena kesal, Tuhan Pudalle' lalu mengutuk hambanya yang tak tahu diri itu dengan menghapus ingatannya. Ia boleh tetap menjadi manusia tapi ia juga akan kehilangan memori-memori penting tentang kehidupannya.
Kini, pada hari ulang tahunnya yang ketiga puluh, lelaki itu duduk berpangku tangan di meja dapurnya, memandang keluar jendela. Ia mencoba mengingat-ingat kembali perjalanan hidupnya selama ini. Tapi tak ada yang bisa diingat. Memorinya kosong, seperti pelajaran di papan tulis yang dihapus ketika jam sekolah berakhir. Ia tiba-tiba merasa kehilangan hubungan dengan masa lalu. Ini membuat si lelaki resah. Ia berpikir seseorang pasti sedang mengguna-gunainya. Bahkan istri yang baru dinikahinya pun tak dapat menenangkannya.
Ia ditinggalkan di sana sendirian, menghabiskan bercangkir-cangkir teh sore itu untuk mengingat tapi berakhir percuma. Sebenarnya, memori itu tidak sepenuhnya terhapus. Ia masih ada di sana, hanya saja begitu kabur, sehingga upaya mengingat terasa seperti sedang mencari-cari jarum di tengah kabut. Lelaki itu sepertinya tahu bahwa dulu ia pernah memiliki seorang teman yang seumuran dengannya tapi nama dan wajahnya ia sudah lupa. Keduanya adalah sahabat sejati, pergi ke sekolah bersama-sama dan pulang pun sama-sama. Sahabatnya itu menjadi tempat ia berbagi keluh kesah dan rahasia-rahasianya, termasuk semua cita-cita yang tak satu pun bisa ia wujudkan sampai hari ini.
Namun, jika ada satu impian yang ia begitu menyesal telah ceritakan kepada sahabatnya itu adalah tentang keinginannya menjadi seorang sastrawan. Pernah ia mengirimkan sebuah cerita pendek ke koran tapi ditolak. Tak hanya itu, ia juga menerima catatan penuh hinaan dari si redaktur. Hal itu membuatnya malu dan sakit hati.
Saat ini malam telah turun dan lampu dapur telah dinyalakan. Lelaki itu masih berjuang keras mengingat cerita tentang apa yang ditulisnya waktu itu. Tapi kita semua tahu, karena kutukan telah dijatuhkan, maka upaya mengingat sekeras apapun adalah pekerjaan sia-sia untuknya.
keterangan:
Pudalle': hewan sejenis biawak khas Sulawesi Selatan
Kaisar Deem cerpen-cerpennya tersebar di pelbagai media
(mmu/mmu)